Petani kelapa sawit swadaya didorong untuk mengalokasikan lahan perkebunan khusus untuk menyuplai kebutuhan bahan bakar nabati atau biodiesel.
Ketua Masyarakat Biohydro Carbon Indonesia Sahat Sinaga mengatakan bahwa dengan skema tersebut, ke depan petani bisa meningkatkan penghasilan dari perkebunansawityang khusus memasok bahan bakar nabati. Pasalnya, permintaan bahan bakar nabati dari industri relatif stabil. Hal itu juga didukung oleh program pemerintah yang ingin meningkatkan bauran Solar dan biodiesel dari saat ini yang masih sebesar 20% atau B20.
“Ini perlu pemikiran dan pekerjaan berat karena per provinsi perlu dibenahi petaninya. Pengusaha besar sudah punya pasar, sedangkan petani tidak. PT Pertamina akan jamin pasar,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Sahat menjelaskan, ketika panen, truk pengangkut tandan buah segar harus menunggu penuh terlebih dahulu. Selama menunggu truk penuh, tandan buah segar berpotensi busuk sehingga merugikan petani. Artinya, petani yang harus menanggung kerugian.
“Coba tanya petani berapa loss [kehilangan akibat tandan buah segar membusuk] mereka gagal kirim karena tidak punya fasilitas kirim. Kira-kira 58% total loss per tahun dan itu belum termasuk di dalam produksi kita minyak sawit 45 juta ton per tahun,” katanya.
Sahat menjelaskan bahwa dengan lahan kebun sawit rakyat yang khusus untuk menyuplai biodiesel, setidaknya akan ada infrastruktur yang dibangun supaya pasokan berjalan lancar. Selain itu, kriteria tandan buah segar untuk biodiesel berbeda dengan minyak nabati.
Minyak nabati membutuhkan TBS yang segar dan kondisi baik, sedangkan biodiesel bisa menggunakan TBS yang sudah busuk. Artinya, potensi kerugian petard pun bisa diminimalisasi dari tingkat petani.
Dia memproyeksikan, apabila program biodiesel berjalan lancar, setidaknya pada 2024 nanti 30% minyaksawitakan masuk pasar energi. Saat ini, baru 8% yang dipakai untuk konsumsi energi.
\’TBS petani itu didorong jadi IPO [industri sawit] untuk memasok bahan bakar nabati ke Pertamina. Jadi, konsepnya adalah per provinsi karena kilang minyak kan per provinsi,sawititu ada itu dikirim ke kilang terdekat. Jadi biaya distribusi minyak bisa diturunkan,” katanya.
Menurutnya, investasi kilang minyak yang tidak terintegrasi mencapai US$200 juta. Kilang minyak itu khusus untuk mengolah minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) menjadi bahan bakar nabati.
Melalui penyerapan biodiesel domestik, industri sawit nasional tidak akan bergantung pada pasar ekspor. “Devisa tidak akan terganggu dengan menahan impor [minyak] dan mengekspor [bahan bakar nabati]. Selama kita punya ketahanan energi nasional. Pertamina hanya punya stok seminggu. Begitu [impor] disetop habis semua,” tegasnya.
Sebelumnya, Sahat Sinaga mengatakan bahwa industri minyak sawit nasional terlalu bergantung pada beberapa pemain ekspor. Akibatnya, ketika para pemain mengalami kesulitan, dampak tersebut langsung berimbas ke petani.
Menurutnya, pasar domestik minyak sawit perlu diintensifkan lagi. “Sekarang di tingkat konsumsi dalam negeri, pasar kita hanya 22% domestik dan 78% ekspor. Itu harus diputar. Setidaknya 60% domestik dan 40% ekspor. Kalau itu terjadi, kita akan jadi pemimpin dunia [bahan bakar nabati].”
Sumber: Bisnis Indonesia