Rencana Uni Eropa melarang penggunaan minyak sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia dengan dalih melindungi kepentingan lingkungan, dinilai hanya kamuflase saja. Di balik kebijakan tersebut sejatinya untuk melindungi kepentingan para petaninya.
EKONOM Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Bhima Yudhistira menilai. rencana Eropa melarang penggunaan minyak sawit merupakan bagian dari upaya mereka untuk mengurangi dominasi CPO Indonesia.
“Sebenarnya masalah lingkungan dan kesehatan hanya isu untuk menyerang saja.-Kenyataan sebenarnya di balik itu semua persaingan dagang.” ungkap Bhima kepada Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.
Dia menerangkan, minyak nabati Eropa kalah bersaing di negerinya sendiri dengan produk asal Indonesia. Minyak nabati Eropa terbuat dari bunga matahari dan kedelai. Sedangkan minyak nabati Indonesia dari sawit. Berdasarkan data Oil World, produktivitas sawit mencapai 4,27 ton per hektar per tahunnya. Sedangkan minyak dari bunga matahari dan minyak kedelai masing-masing hanya 0,69 ton dan 0.45 ton.
“Kondisi itu membuat petani Eropa cemburu dengan CPO Indonesia. Kemudian, kecemasan para petani Eropa direspons kalangan politisi Eropa. Mereka membela petani dengan melakukan kampanye negatif
dan melakukan lobi di parlemen. Puncaknya, Parlemen Uni Eropa menuduh sawit Indonesia merusak lingkungan dan jadi penyebab pembalakan liar,” terangnya.
Bhima menuturkan, pemerintah harus bisa menghentikan rencana Eropa melarang penggunaan minyak sawit. Karena jika kebijakan itu jadi diterapkan bisa memberikan dampak negatif signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Dampak kebijakan Eropa bisa merembet ke negara lainnya.
“Keputusan Uni Eropa sering dijadikan benchmark (patokan) dari regulasi perdagangan dunia. Negara lain bisa ikut-ikutan , apalagi India dan Filipina juga tengah mempermasalahkan sawit kita.” ungkapnya.
Bhima menyebutkan ekspor sawit ke Eropa jumlah 14 persen dari total sawit Indonesia. Larangan penggunaan sawit di Eropa akan membuat perekonomian jutaan petani sawit alami kesulitan. Dampaknya secara nasional, akan menekan nilai tukar rupiah.
Melihat pentingnya peran sawit terhadap perekonomian, menurut Bhima, masa depan sawit harus ditata ulang. Pertama, melakukan perbaikan tata kelola terkait pengaturan masa tanam.
Kedua, harus ada hukuman tegas pada perusahaan maupun pekebun sawit yang terbukti melanggar hukum seperti pembakaran hutan, dan menduduki tanah tanpa izin yang sah.
“Selama ini Eropa melihat penanganan kurang serius, terjadi over-generalisasi bahwa sawit asal Indonesia berasal dari pembalakan liar,” jelas Bhima.
Ketiga, harus melakukan diplomasi dagang harus lebih efektif dengan meningkatkan koordinasi maupun teknis. Saat ini, koordinasi masih beragam. Pihak yang berkepentingan dengan sawit menjalankan peran
secara terpisah.
“Apabila ada koordinasi satu atap, misal di bawah Kementerian Perdagangan, tingkat efektivitas negosiasi di level internasional bisa meningkat. Begitu juga dengan peran duta besar dan atase perdagangan mutlak dibutuhkan sebagai fasilitator untuk melakukan lobi-lobi terkait sawit,” tegasnya.
Rencana Eropa melarang penggunaan sawit Indonesia tertuang dalam Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of The EU renewable energy Directive II (RED H). Rancangan itu sudah diajukan ke Komisi Uni Eropa pada 13 Maret 2019. Dalam draf tersebut, minyak sawit diklasifikasikan sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap lingkungan. Sedangkan minyak kedelai asal Amerika Serikat (AS) dimasukan dalam kategori risiko rendah. Parlemen Eropa masih memiliki waktu untuk meninjau rancangan yang diajukan oleh Komisi Eropa tersebut dalam waktu dua bulan sejak diterbitkan.
Untuk menghalau kebijakan itu, pemerintah sudah membentuk tim untuk melakukan gugatan ke organisasi perdagangan dunia (WTO). Selain itu, pemerintah juga mengancam Uni Eropa akan melakukan aksi balasan, memboikot produk Eropa secara seimbang.
Sumber: Rakyat Merdeka