Harga minyak sawit mentah (CPO) yang terus menurun, telah menyebabkan banyak persoalan bagi industri minyak sawit nasional. Lantaran, kejatuhan harga CPO menimbulkan, persoalan lanjutan bagi pengelolaan keberlanjutan yang dibutuhkan perkebunan kelapa sawit nasional. Sebab itu, dibutuhkan strategi nasional guna mencegah terjungkalnya harga jual CPO lebih lanjut.

Kondisi jatuhnya harga CPO yang berlarut-larut, secara nyata telah memporak-porandakan pengelolaan berkelanjutan yang sedang gencar dilakukan. Lantaran, harga jual CPO yang jatuh, juga menyebabkan rendahnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan petani kelapa sawit, hingga terlambatnya pembayaran TBS yang dibeli Pabrik Kelapa Sawit (PKS).

Ketidakpastian adanya pasar sebagai pembeli CPO, juga menyebabkan muramnya bisnis minyak sawit baru-baru ini. Lantaran, produk CPO yang berorientasi pasar ekspor ini, juga diganjal dengan berbagai peraturan baru yang mempersulit penjualan CPO di negara tujuan ekspornya. Alhasil, penyerapan pasar ekspor tidak bertumbuh dan menyebabkan jatuhnya harga jual CPO. Sebagai gambaran, harga jual CPO saat ini sama dengan harga jual CPO tahun 1973 lalu.

Ketergantungan CPO Indonesia terhadap pasar ekspor, memang sudah menjadi momok menakutkan bagi industri minyak sawit nasional sejak dahulu kala. Lantaran, kebutuhan penyerapan pasar domestik, tidak kunjung memberikan banyak harapan. Kendati, sudah ada terobosan akan penggunaan biodiesel bagi pasar domestik.

Di sisi lain, keberadaan pasar premium CPO juga tidak kunjung memberikan kepastian penyerapan. Padahal, pasar premium dibutuhkan untuk menaikkan permintaan pasar global CPO. Pentingnya keseimbangan suplai dan permintaan pasar CPO, tentu saja menjadi bagian kebutuhan dari industri minyak sawit nasional itu sendiri dan menjadi masa depan bi snis minyak sawit nasional.

Guna terus mempertahankan pasar CPO ditingkat global, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sepakat untuk tidak melakukan pungutan ekspor sawit sampai akhir tahun 2019.

Langkah ini diambil sebagai bentuk upaya dalam mempertahankan harga CPO global, yang dampaknya tentu saja secara langsung akan dirasakan petani kelapa sawit nasional. Apalagi harga CPO global masih tercatat berfluktuatif. Pungutan baru akan diberlakukan apabila ada kepastian harga akan naik.

Direktur BPDP-KS, Herdrajat Natawijaya mengatakan, pihaknya telah melaporkan keputusan tersebut kepada Presiden. “Kita percaya begitu dikenakan pungutan 50% tersebut harga akan turun. Artinya para petani atau produsen kelapa sawit akan menerima harga lebih rendah lagi,” katanya dalam acara FGD Minyak Sawit Berkelanjutan: Diskusi Sawit Bagi Negeri Vol 4 dengan tema “Petani Butuh Keberlanjutan Harga CPO Naik” Kamis (26/9/2019) di Jakarta yang diadakan Media InfoSAWIT.

Kemungkinan besar pemberlakuan pungutan yang paling tepat yaitu ketika B30 akan efektif berjalan pada 1 Januari 2020. Pada saat itu akan terjadi kenaikan penggunaan CPO, karena volume penggunaan CPO untuk B30 akan bertambah sekitar 3 juta ton dibandingkan saat digunakan sebagai B20.

Guntur Cahyo Prabowo dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengungkapkan,  pihaknya mencoba untuk mensinergikan pengembangan praktik minyak sawit berkelanjutan ditingkat petani dengan pelaku usaha. Cara demikian harapannya bakal bisa membantu petani dalam memangkas rantai pasok perdagangan Tandan Buah Segar (TBS) sawit, sehingga pembelian harga tingkat petani tidak dilakukan pihak ketiga (perantara), lantaran cara demikian berdampak pada terpangkasnya harga.

Sebab itu dengan menerapkan skim berkelanjutan, petani bisa memiliki kesempatan untuk akses informasi dan penjualan langsung ke pabrik kelapa sawit. Kendati sertifikasi mungkin bukan satu-satunya jawaban atas masalah tersebut, namun sertifikasi minyak sawit berkelanjutan itu dapat dijadikan salah satu alternatif guna membuka akses untuk petani sawit swadaya.

Terutama akses terhadap kemitraan pengolahan TBS bersertifikat yang dihasilkan oleh petani swadaya. “Selain akses pasar, peluang dukungan peningkatan kapasitas dari pabrik dan pula pihak lain seperti pemerintah juga terbuka cukup lebar,” katanya.

Tercatat hingga saat ini sudah ada sekitar 30 kelompok petani Swadaya bersertifikat RSPO.Namun jika dibandingkan dengan jumlah total luas lahan yang dikelola oleh petani swadaya di Indonesia, maka pencapaian ini jauh. Untuk itu, sangat penting dilakukan mengakselerasi implementasi standard minyak sawit berkelanjutan.

Sekadar catatan sampai saat ini sebanyak 20% dari total pasokan minyak sawit di dunia sudah tersertifikat minyak sawit berkelanjutan versi RSPO. Dimana sebanyak 55% berasal dari minyak sawit berkelanjutan asal Indonesia. Sementara untuk jumlah petani sawit swadaya dan plasma yang tersertifikat mencapai 0,15% dari total minyak sawit berkelanjutan, dimana banyaknya petani sawit swadaya sejumlah 3.371 petani, dan petani plasma sekitar 117.673 petani.

Dikatakan Guntur, masalah masih lambatnya penerimaan sertifikat minyak sawit berkelanjutan untuk petani lantaran masih terkait dengan biaya yang mesti dipenuhi untuk memenuhi proses sertifikasi. “Sebab itu butuh pihak ketiga supaya bisa berjalan,” kata Guntur.

Sekadar catatan, produksi Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) asal Indonesia per bulan Juni 2019 mencapai 7.819.243 ton, berasal dari sebanyak 195 pabrik kelapa sawit (PKS) bersertifikat. Angka itu, belum memperhitungkan PKS independen. Volume CPO Indonesia bersertifikat RSPO per bulan Juni 2019 tersebut melonjak dibanding data per bulan Juni 2018 yang tercatat sebanyak 6.372.147 ton.

Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto mencatat, pengembangan petani kelapa sawit swadaya masih belum tersentuh pemerintah, padahal jumlah petani sawit swadaya di Indonesia cukup banyak.

Darto mengakui, sampai saat ini kemunculan kebijakan yang berpotensi bisa membantu pengembangan petani kelapa sawit swadaya masih belum maksimal, seperti Inpres No. 8 tahun 2018.

Dalam Inpres ini, presiden meminta untuk melakukan evaluasi ijin-ijin sawit yang sudah dikeluarkan bagi koorporasi serta melakukan pemetaan perkebunan rakyat, Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), Revitalisasi Kelembagaan Tani dan alokasi 20% dari Kawasan hutan.

Lagi-lagi, Inpres ini, tidak berjalan sehingga petani tidak memperoleh manfaat sejak Inpres ini dikeluarkan oleh Presiden. Dampaknya, Petani sawit masih saja memperoleh produktivitas rendah akibat kesulitan mengakses pupuk, sarana prasarana yang buruk dan mayoritas petani masih menjual hasil produksinya ke tengkulak dengan harga yang sangat murah.

“Disamping itu, harga Tandan Buah Segar (TBS) milik petani masih ditentukan oleh hukum pasar dan belum adanya model perlindungan harga petani dari gejolak pasar sebagaimana diatur dalam UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” kata Darto.

Kepala Sekretariat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), Azis Hidayat mengatakan, penerapa skim ISPO ditingkat pelaku kelapa sawit baik pelaku usaha, pemerintah dan petani terus meningkat.

Kondisi ini tentu saja berdampak pada citra kelapa sawit Indonesia di pasar global, yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada menguatnya harga. Apalagi penerapan skim ISPO merupakan skim mandatori yang harus dipatuhi seluruh pelaku perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak terkecuali petani.

Sampai Agustus 2019 sertifikat ISPO yang telah terbit sebanyak 566 (556 perusahaan, 6 Koperasi Swadaya, dan 4 KUD Plasma) dengan luas total areal 5.185.544 Ha, Tanaman Menghasilkan seluas 2,961.293 Ha, total produksi  TBS 56.650.844 ton/th  dan CPO 12.260.641 ton/th. Produktivitas 19,07 ton/ha dan Rendemen rata-rata 21,70 %.

Terdiri dari perusahaan Swasta 508 sertifikat, dengan luas areal 4.896.546 Ha ( 63% Ha dari luas total 7,788 juta Ha); PTP Nusantara 48 sertifikat, dengan luas areal 282.762 Ha ( 40 % dari luas total 713 ribu Ha); dan Koperasi Pekebun Plasma-Swadaya 10 sertifikat seluas 6.236 Ha (0,107 % dari luas total 5,807 juta Ha). (T2)

 

Tentang Diskusi Sawit Bagi Negeri :

Diskusi Sawit Bagi Negeri merupakan diskusi interaktif para pemangku kepentingan usaha kelapa sawit nasional, yang menghadirkan pembicara sebagai narasumber dari berbagai kalangan, untuk memberikan gambaran utuh mengenai keberadaan minyak sawit. Bertujuan memberikan pemahaman yang benar mengenai keberadaan dan kontribusi minyak sawit, bagi negara, sosial dan lingkungannya.

Diskusi Sawit Bagi Negeri mendapatkan dukungan pendanaan dari BPDP Kelapa Sawit, RSPO, dan SPKS dengan mitra strategis Media InfoSAWIT dan Palm Oil Magazine. Diskusi yang merangkul para pemangku kepentingan minyak sawit seperti pemerintah, pelaku usaha, periset, organisasi, aktivis sosial dan lingkungan serta pihak lainnya, untuk berdiskusi membangun minyak sawit Indonesia.

 

Sumber: Infosawit.com