Masa depan petani sawit berada dalam ketidakpastian. Berbagai persoalan membelit perkebunan sawit mulai legalitas lahan, status lahan masuk kawasan hutan, dan pembiayaan peremajaan. Pemerintah harus membuat kebijakan yang bersifat terobosan dan berani.

Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa  Sawit Indonesia (APKASINDO) Riau berupaya mencari solusi dan kepastian dari pemerintah supaya perkebunan sawit tetap berjalan dan terus berlanjut. Pasalnya, petani sawit menghadapi ketidakpastian masa depan tanpa adanya dukungan sikap pemerintah.

“Kami (petani) penyumbang devisa terbesar. Harapan kami Presiden (Jokowi) memberikan hadiah terbaik kepada petani supaya tidak galau ke depannya,” kata Gulat Medali Emas Manurung, Ketua DPW APKASINDO, dalam kata sambutan Seminar “Sawit Riau Dibawa Kemana” di Hotel Gran Suka Pekanbaru, Selasa (6 Maret 2018).

Hadir dalam seminar ini antara lain Bambang (Dirjen Perkebunan),Raden  Bagus Agus Widjayanto (Dirjen ATR/BPN Sengketa Lahan), Rusman Heriawan (Ketua Dewan Pengawas BPDP-KS), Bayu Krisnamurthi (Ketua Perhepi), Herdrajat Natawijaya (Direktur BPDP-KS),dan Ferry HC (Kadisbun Riau)

Gulat Manurung meminta pemerintah untuk memberikan solusi bagi lahan petani yang masuk kawasan hutan. Pasalnya, luas perkebunan sawit anggota APKASINDO Riau yang berada di kawasan hutan diperkirakan 76%.  Total luasan sawit rakyat di Riau saat ini mencapai 1.386.575 hektare.

Pada pertengahan Oktober  2017, Presiden Jokowi Widodo meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar kebun milik petani dikeluarkan dari kawasan hutan dan diberikan sertifikat.  “(Perkebunan) yang masuk kawasan hutan sudah saya perintahkan untuk dikeluarkan dari kawasan hutan untuk nantinya diberikan sertifikat,” tegasnya.

Gulat Manurung meminta Kementerian dan lembaga negara lainnya supaya merealisasikan instruksi Presiden Jokowi. Karena lahan petani sawit berada dalam kawasan hutan, mereka akan berhadapan persoalan hukum sehingga kesulitan mengikuti program replanting BPDP-kelapa sawit. “Bagaimana petani dapat berkebun sawit dengan tenang dan nyaman, kalau bisa terjerat hukum karena lahannya di kawasan hutan,”keluh Gulat.

Menurut Gulat, “Petani  takut sepanjang hari karena sekitar 76 persen kebun kami berada di kawasan hutan. Bahkan ada petani kami yang lahannya telah menjadi kawasan sengketa. Tolonglah kami bagaimana petani ini dapat bertahan dengan tenang,” jelasnya.

Persoalan mengenai harga Tandan Buah Segar (TBS)0 petani yang terbilang rendah. Gulat menyebutkan  banyak faktor yang membuat  harga buah sawit di bawah harga bulanan pemerintah karena  karena masalah infrastruktur seperti jalan serta kebun. “Di sejumlah daerah, petani ingin ada jalan utama supaya truk bisa masuk ke kebun. Jangan seperti masih di zaman penjajahan Belanda, masih ada yang menggunakan pikulan,” paparnya.

 

Sumber: Sawitindonesia.com