PT Pindad (Persero) akan memfasilitasi pembangunan pabrik kelapa sawit (PKS) bagi para petani sawit di Pelalawan, Riau, dengan kapasitas 10 ton tandan buah segar (TBS) per jam. Pada tahap awal pengoperasian PKS tersebut, petani hanya sebagai penyuplai bahan baku, namun setelah lima tahun para petani didorong untuk mengambil alih kepemilikan dan operasional pabrik tersebut. Dengan upaya tersebut diharapkan petani bisa menikmati harga sawit yang lebih baik.
Wakil Ketua I Dewan Minyak sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengungkapkan, Pindad diketahui tengah bersiap membangun PKS di Kabupaten Pelalawan, Riau. Meski tidak dapat dipastikan besaran investasi yang disiapkan Pindad, biasanya pembangunan 1 unit PKS menelan dana Rp 350 juta untuk setiap kapasitas 1 ton TBS. Pindad diperkirakan membutuhkan biaya yang lebih rendah dari taksiran tersebut. “PKS itu menjadi pilot project model kemitraan antara Pindad dengan petani sawit. Model kemitraan itu akan dikembangkan dan diterapkan sebagai salah satu solusi mengatasi rendahnya harga TBS petani swadaya,” kata Sahat di Jakarta, kemarin.
Selama ini, harga TBS petani didasarkan pada harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang berfluktuasi di pasar internasional. Harga CPO kemudian diterjemahkan dengan memperhitungkan kualitas, biaya angkut, fluktuasi kurs, hingga faktor eksternal lainnya yang terkait TBS. Dalam konteks tersebut, apabila petani berada jauh dari PKS dan mengandalkan peran pengepul maka harga TBS yang diterima petani akan semakin tertekan. “Karena itu, dalam model kemitraan yang dibangun Pindad dan petani, PKS tersebut ditargetkan menjangkau 2.700 hektare (ha) kebun rakyat dengan radius maksimal 10 kilometer (km). Pindad menggandeng petani di wilayah sekitar PKS, mereka harus membentuk kelompok atau koperasi,” jelas dia.
Menurut Sahat, metode kemitraan antara Pindad dan petani tersebut akan dibuat mirip dengan skema kemitraan gula tebu. Apabila biaya produksi per kilogram TBS berkisar Rp 185 maka perhitungan yield (produktivitas CPO yang dihasilkan per ha kebun) adalah 19%. Dengan jarak antara PKS dengan kebun petani adalah 80 kilometer maka menelan biaya angkut tambahan Rp 60 per kilogram per 10 kilometer. Dengan keberadaan PKS Pindad maka biaya angkut tambahan tersebut dapat dihilangkan atau bisa ditekan seminimal mungkin. “Hasil penghematan itu kemudian akan dimanfaatkan sebagai investasi petani untuk mengambil alih PKS. Dengan begitu, setelah lima tahun, PKS itu kemudian menjadi milik kelompok atau koperasi petani tersebut,” jelas dia.
Pindad, lanjut dia, merancang mesin PKS yang tidak akan meninggalkan sampah. Karena itu, cangkang bahkan janjangsawitdapat dijual sehingga menghasilkan pendapatan tambahan bagi petani. “ITB memiliki teknologi nano supercapacitor. Janjang kosong sawit itu bisa digunakan untuk itu. Jadi, petani bisa menjual janjangnya Rp 200 per kilogram,” kata Sahat.
Sahat menambahkan, model kemitraan yang dikembangkan Pindad dengan petani itu dibutuhkan agar petani sawit Indonesia tidak lagi hanya menjual TBS. Dengan begitu, petani dapat menikmati harga yang lebih baik dan stabil. Selain itu, mendorong petani agar mau berkelompok. Dengan berkelompok, pemerintah bisa lebih mudah membina petani dan dengan berkelompok maka upaya menjalankan prinsip dan upaya keberlanjutan serta memenuhi sertifikat sawit lestari Indonesia (ISPO) bisa lebih mudah dilakukan. “DMSI mendorong upaya kemitraan seperti ini. Kami berharap, ini menjadi model yang bagus untuk dikembangkan,” jelas dia.
Ke depan, petani juga perlu didorong agar bisa memanfaatkan CPO yang dihasilkan PKS miliknya tersebut sebagai agunan ke bank. Dengan begitu, petani tidak perlu lagi meminjam ke pengijon. “Karena itulah, petani perlu membentuk koperasi atau kelompok. Dengan kartu keanggotannya, petani bisa mengakses bantuan perbankan. Kami berharap model ini bisa dijalankan,” kata Sahat.
Sumber: Investor Daily Indonesia