JAKARTA , POSKOTA.CO.ID – Ketua Umum DMSI (Dewan Minyak Sawit Indonesia) Sahat M.Sinaga mengatakan, minyak goreng curah melalui pasar tradisional sudah mulai menurun dari 41,4% di tahun 2017 menjadi 32,6% di tahun 2021 ini.
“Masyarakat luas telah meningkat pendapatannya sehingga banyak yang berbelanja melalui modern-market,” kata Sahat M. Sinaga, Jumat (3/12/2012).
Sahat Sinaga mengatakan, masyarakat banyak yang sadar akan perlunya minyak goreng (migor) yang mereka pakai itu jelas.
“Yaitu asalnya dari mana dan siapa produsennya, sehingga barang yang mereka konsumsi itu adalah terjamin Halal,” ucapnya.
Sahat Sinaga menyebut mengapa minyak curah dilarang, karena pemerintah melihat bahwa masyarakat luas terutama yang berbelanja dari pasar tradisional di arahkan untuk mendapatkan barang yang hygienis dan jelas asal usulnya.
“Karena banyak penelitian uji nutrisi minyak goreng bekas yang dapat beredar dilapangan,” katanya.
Hal lain yang lebih mendasar adalah bahwa dengan ketidak jelasan asal usul minyak curah tersebut maka. tak ada jaminan apakah minyak tersebut Halal atau tidak.
“Minyak goreng curah itu sangat sensitif terhadap gejolah harga minyak sawit di pasar domestik. Dan harga pasar minyak sawit juga dipengaruhi gejolak 13 jenis minyak nabati dunia, dan juga terpengaruh akan perubahan harga minyak bumi yang di tahun 2020 berada di level USD 44,5 /barrel, dan kini di penghujung tahun 2021 telah mencapai harga USD 82,5 /barrel,” tegasnya.
Sahat Sinaga menjelaskan, mayoritas Industri minyak goreng di Indonesia itu adalah murni Industri, dan tidak punya kebun sawit, jadi mereka ini ibarat “Tukang Jahit” . Jadi kalau harga kainnya – dalam hal ini CPO sebagai bahan baku, maka harga baju yang dijual tentu akan naik.
“Demikianlah harga minyak di pasar tradisonal dan juga di gerai market semuanya mengalami kenaikan harga sesuai dengan kenaikan harga sawit di pasar,” ucapnya. (rizal)
Sumber: Poskota.co.id