NUSA DUA – Presiden Joko Widodo selalu pasang badan untuk melindungi industri sawit di Indonesia. Dia terus melobi ke sejumlah pemimpin negara yang selama ini menghambat produk minyak sawi tmentah (crude palm oil/CPO) Indonesia. Presiden bahkan beberapa kali mengancam beberapa negara untuk membalas perlakuan diskriminatif mereka terhadap produk sawit.

Selain itu, Kepala Negara pun aktif memasarkan dan mengkampanyekan minyak sawit Indonesia dalam setiap lawatannya ke luar negeri. Semua langkah tersebut dilakukan untuk mendukung pengembangan industri sawit yang menjadi penghasil devisa sangat besar.

Presiden Joko Widodo mengungkapkan itu saat membuka “Indonesian palm oil Conference/ IMC) 2018 2019 Price Outlook” di Sofitel Nusa Dua Bali, Senin (29/10). IPOC ke-14 yang diselenggarakan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) kali ini mengusung tema “Palm Oil Development Contribution to SDGs”. Acara dihadiri sekitar 1.500 peserta dari 36 negara.

Presiden mengapresiasi dan menilai industri sawit Indonesia sangat membanggakan karena mampu menjadi produsen CPO terbesar di dunia, dengan produksi 42 juta ton tahun ini. Namun, dia mengakui, menjual CPO sebanyak itu bukanlah hal yang mudah. Apalagi, 80% produksi CPO nasional harus dilepas ke pasar ekspor.

“Saya pusing kalau harga CPO turun. Apa dipikir saya nggak ikut pusing? Makanya saya kirim menteri ke Uni Eropa, Prancis, Belgia, agar sawit kita tidak diboikot. Saya ketemu perdana menteri dan presiden beberapa negara yang selama ini menghambat CPO kita. Saya menyampaikan protes kenapa CPO Indonesia diboikot. Saya ancam tidak beli pesawat (dari Eropa). Jangan main-main. Akhirnya mereka mikir juga,” kata Presiden.

Presiden khawatir dengan harga CPO yang saat ini turun, hingga di bawah US$ 700 per ton. Waktu Presiden berkunjung ke sejumlah perkebunan sawit, petani minta kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga. “Itu tidak bisa, karena harga internasional, mereka yang atur.

Kalau sekilo dua kilo, bisa lah saya beli dengan harga tinggi,” kata Presiden yang disambut tawa peserta, yang sebagian merupakan petani plasma sawit.

Untuk mendongkrak harga, salah satu kebijakan pemerintah adalah menempuh moratorium untuk izin baru lahan sawit. Artinya, peningkatan produksi tidak harus dilakukan melalui perluasan lahan. Presiden beralasan, moratorium justru bertujuan untuk menaikkan produktivitas.

Upaya menggenjot produktivitas, kata Presiden, juga bisa ditempuh dengan peremajaan kebun sawit. Khususnya perkebunan rakyat yang usia tanamannya rata-rata sudah 30 tahunan. Sekitar 42% kebun sawit nasional merupakan perkebunan rakyat. “Bagaimana produksi mau bagus, kalau tidak diremajakan” kata dia.

Sejauh ini, pemerintah memberikan subsidi untuk program peremajaan tanaman sawit. “Apakah peremajaan ini jalan atau tidak, saya belum lihat.

Saya ingin peremajaan dipercepat. Saya minta agar prosedur untuk memperoleh dana peremajaan disederhanakan.

Saya minta bulan depan petani sudah dapat,” tegas Presiden.

Kepala Negara menyesalkan prosedur pencairan dana peremajaan yang sulit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit. “Katanya ada 17 prosedur. Satu prosedur saja cukup. Yang penting akuntabilitas, dapat dipertanggungjawabkan. Duit (BPDP) banyak untuk apa, harus dikembalikan ke petani untuk peremajaan. Kuping saya sering dengar keluhan petard yang sulit mencairkan dana. Buatlah sesederhana mungkin,” kata Presiden.

Selain itu, Presiden juga minta menteri yang berwenang mempercepat sertifikat kebun sawit petani, asalkan bukan lahan sengketa. “Saya dengar proses sertifikasi dilama-lamain, capek saya. Saya datang ke desa, saya yang dimarahi. Kalau saya yang mengurus sendiri, saya permudah. Beri sertifikat ke rakyat, ngapain dilama-lamain,” tuturnya.

Dalam kesempatan ini, Presiden Jokowi menekankan lima hal yang harus dilaksanakan agar pengembangan sektor kelapa sawit bisa berkontribusi terhadap Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable Development Goals/SDGs).

Pertama, memanfaatkan teknologi untuk keberlanjutan industri CPO, agar industri sawit tidak menjadi sasaran kritik. Tata kelola perkebunan kelapa sawit harus semakin ramah lingkungan. Juga bagaimana menciptakan varietas unggul lewat penelitian. “Jangan sampai kita kalah produktivitas dengan Malaysia yang mencapai 12 ton per ha, kita 5-8 ton per ha. Di sini banyak ahli, tapi belum bergerak,” sindirnya.

Kedua, Presiden minta peremajaan tanaman sawit dipercepat dengan menyederhanakan prosedur pencairan dana subsidi.

Ketiga, tingkatkan ekspor CPO, yang tahun ini diprediksi menghasilkan debisa US$ 21 miliar. “Pasar ekspor harus diperluas, cari pasar baru seperti Pakistan, Bangladesh, Timur Tengah, dan Afrika Selatan,” kata Presiden.

Presiden mengaku bahwa dia sering berjualan CPO setiap melawat ke sejumlah negara. “Misalnya, saya minta kuota ekspor ke RRT ditambah, langsung disetujui tambahan 500 ribu ton. Tapi masak presiden jualan terus. Perusahaan dong, muter jualan,” kata Presiden.

Keempat, hilirisasi harus dipercepat. Jangan hanya jualan bahan mentah, yakni CPO. Hilirisasi mesti betul-betul diperhatikan, agar Indonesia mengekspor produk turunan CPO bernilai tambah tinggi.

Kelima, percepatan implementasi percampuran 20% CPO ke dalam solar atau dikenal dengan program B20. Presiden menilai pelaksanaan B20 tidak secepat yang diharapkan. “Kalau rapat dengan saya bolak-balik, mereka bilang siap-siap, praktiknya mengecewakan. Nanti Rabu (31/10) saya cek lagi, sampai berapa persen implementasinya,” kata Presiden.

Kendala Legalitas

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengapresiasi Presiden yang sangat mendukung kemajuan industri sawit, membuka akses pasar-pasar nontradisional, mendorong peremajaan, menginisiasi program B20, serta mendukung pengembangan sumber daya manusia (SDM) kelapa sawit di berbagai perguruan tinggi.

“Dukungan Bapak Presiden kepada sektor kelapa sawi tsangat besar. Presiden terjun langsung melakukan penanaman peremajaan kebun sawit. Belum pernah ada presiden sebelumnya melakukan hal itu,” kata dia.

Joko Supriyono juga berterima kasih kepada Presiden yang aktif mengkampanyekan sawit RI, pasang badan dalam menghadapi hambatan perdagangan sawit di pasar Uni Eropa dan AS. “Saya juga dengar dari para menteri, Pak Presiden mengancam pemimpin negara tertentu yang menghambat sawit Indonesia,” kata dia.

Joko Supriyono menyatakan, Gapki mendukung kebijakan yang menunda izin baru kebun sawit demi peningkatan produktivitas sawit. Namun, saat ini pelaku inudstri sawit menghadapi kendala, terutama tentang perizinan dan legalitas.

“Banyak anggota Gapki dipanggil aparat karena isu perizinan dan legalitas. Ini mengkhawatirkan dan menimbulkan ketidakpastian usaha,” kata Joko.

Joko mengatakan, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 42 juta ton di mana 30 juta ton akan diekspor. “Karena itu, terkait program manda-tori biodiesel B20, kami sangat siap menyediakan bahan baku. Dengan pasokan minyak sawit sebesar ini, program biodiesel tidak pernah kesulitan bahan baku,” kata Joko.

Dalam acara Pembukaan IPOC ini, Presiden Joko Widodo juga menyerahkan hadiah bagi pemenang lomba TBS (tandan buah segar) terberat dan produktivitas kebun. Pemenang hadiah TBS terberat adalah Suparji, petani sawit dari Sumatra Selatan, dengan TBS seberat 95 kilogram. Sementara petani dengan produktivitas tertinggi yaitu 22,1 ton dimenangkan oleh KUD Petapahan Maju Bersama, Kabupaten Kampar, Riau. Pemenang mendapat hadiah Rp 50 juta. Presiden Jokowi menilai hadiah itu terlalu kecil, sehingga dia menambah Rp 100 juta.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia