JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) nasional tahun ini bisa mencapai 40 juta ton, atau tumbuh sekitar 5% dari estimasi produksi 2017 yang sebesar 38 juta ton. Kondisi cuaca yang mendukung pertanaman sawit menjadi pemicu utama naiknya produksi komoditas perkebunan tersebut.

Sekjen Gapki Togar Sitanggang mengatakan, kondisi cuaca yang mendukung pada 2016-2017 akan berlanjut pada tahun ini. Pada 2016-2017 curah hujan relatif bagus, sehingga produksi naik sekitar 10%, meski terdapat juga beberapa pihak yang pesimistis kenaikan produksi tersebut mencapai 10%. “Produksi CPO tahun ini kemungkinan naik 7-10% dari 2017, atau perkiraan saya bisa 40 juta ton. Pada 2017, produksi CPO mencapai 38 juta ton. Kalau ekspor CPO dan produk turunannya 29 juta ton, ditambah minyak kernel (PKO) maka akan menjadi 31 juta ton. Stok akhir 2017 sebesar 4 juta ton,” kata Togar kepada wartawan di Jakarta, Senin (22/1).

Terkait harga CPO tahun ini. Togar mempredikasi bakal bergerak pada level US$ 620-650 per ton. Peningkatan produksi CPO menjadi salah satu faktor melambatnya harga CPO. Pada akhir Desember 2017, Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis harga referensi CPO periode Januari 2018 adalah US$ 697,34 per ton atau melemah USS 45,6 atau 6,14% dari harga referensi Desember 2017 yang senilai US$ 742,94 per ton. “Selain itu, penyerapan biodiesel juga kemungkinan hanya akan berkisar 2,50 juta ton tahun ini. Kecuali, kalau ada perubahan kebijakan, serapan biodiesel bukan PSO jalan, harga bisa bergerak ke US$ 700 per ton,” kata Togar.

Untuk ekspor, kata dia, pelaku usaha masih menunggu kondisi di Eropa. Selain itu, India diperkirakan kembali menaikkan tarif bea masuk (BM) atas impor CPO. “Panen di India tahun ini bakal tetap tinggi. Untuk melindungi petani di sana, pemerintah India kemungkinan akan menaikkan BM atas impor vegetable oils. Padahal, India adalah destinasi ekspor CPO Indonesia terbesar. Mereka bakal mengurangi pembelian akibat kenaikan pajak impor itu,” kata Togar.

Di sisi lain, pemerintah mewajibkan ekspor CPO menggunakan kapal lokal seperti tercantum dalam pasal 3 Permendag No 82 Tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu. Di sisi lain, pemerintah juga mewajibkan penggunaan jasa asuransi lokal. “Apakah ada jaminanan kapal-kapal Indonesa sanggup mengangkut 29-31 juta ton minyak sawit Indonesia? Ada berapa yang food grade dan oil grade?” ujar dia.

Pengusaha sawit mempertanyakan apakah perusahaan kapal Indonesia itu sudah memiliki kemampuan pemasaran yang sedemikian baik, sehingga sudah mendapat jaminan bisa membawa kargo dari Eropa ke Asia. “Kalau mereka membawa CPO dari Indonesia ke Eropa, lalu ternyata pulangnya kosong? Dan harus dipahami, karakter pengapalan untuk ekspor CPO,” kata Togar.

Karena itu, lanjut dia, perusahaan akan memanfaatkan pasal 5 Permendag tersebut yang mana apabila tidak tersedia kapal lokal maka ekspor CPO bisa menggunakan kapal asing. Demikian juga, terkait asuransi yang digunakan. “Perusaan asuransi lokal apakah mampu? Dan di dalam Permendag itu juga tidak jelas, wajib asuransi lokal, yang CIF atau FOB? Karena itu, kami menunggu juknis untuk pasal 5 Permendag No 82 Tahun 2017. Kami akan gunakan itu. Kalau juknis itu nggak jelas, ekspor CPO akan terganggu,” kata Togar.

Diskriminasi sawit UE

Terkait rencana Uni Eropa (UE) yang akan melarang penggunaan biodiesel berbasis sawit pada 2021, Ketua Umum Asosiasi Produsen Buofiels Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor mengatakan, pihaknya akan mengajukan gugatan. “Ini adalah diskriminasi. Sebelumnya, mereka sudah menetapkan untuk 2030. Lalu, kenapa yang berbasis sawit ditetapkan 2021? Kami sedang berkoordinaai tentang hal ini dengan pemerintah untuk langkah berikutnya,” kata Tumanggor.

Sementara itu, Togar yang juga Ketua Bidang Pemasaran dan Promosi Aprobi memaparkan, produksi biodiesel nasional pada 2017 mencapai 3,10 juta ton, yakni konsumsi dalam negeri 2,30 juta ton dan ekspor 180 ribu ton. Pada 2016, produksi biodiesel 3,60 juta ton, sebanyak 3 juta ton untuk konsumsi domestik dan 470 ribu ton untuk ekspor. Tren penurunan yang terjadi pada 2017, kemungkinan disebabkan penegakan penggunaan biodiesel, serta keterlambatan pengumuman penyaluran yang memangkas konsumsi setidaknya 200-300 ribu ton pada pertengahan 2017.

Tahun ini, kata Togar, produksi kemungkinan hanya bisa 3 juta ton atau tergantung permintaan. Namun, apabila benar seperti yang diberitakan bahwa pemerintah akan mendukung bukan subsidi (PSO) maka akan tercipta permintaan baru setidaknya 1 juta ton. “Produksi biodiesel sangat bergantung demand. Kalau itu benar, produksi 2018 bisa mencapai 3,54 juta ton,” kata Togar.

Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan mengatakan, Indonesia secara khusus, juga menghadapi tantangan ekspor biodiesel. Terutama, disebabkan oleh perang dagang, yang dipicu oleh harga minyak sawit Indonesia yang lebih bersaing di pasar. Untuk itu, Indonesia harus mengambil langkah strategis terpadu bersama pemerintah, swasta, LSM, dan semua pemangku kepentingan. “Saat ini, kita sedang menunggu putusan UE atas banding antidumping ke WTO,” kata dia.

Damiana Simanjuntak

 

Sumber: Investor Daily Indonesia