Produksi minyak kelapa sawit sampai akhir 2019 berpotensi menembus 51 juta ton seiring bertambahnya tanaman menghasilkan dengan produktivitas tinggi dari hasil peremajaan kebun sejak tiga tahun lalu.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa sawit (Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung menyebutkan potensi kenaikan produksi bisa mencapai 12%-15% sampai akhir tahun ini.

“Peningkatan produksi ini didorong oleh peremajaan sawit tiga tahun lalu. Baik lewat program peremajaan sawit rakyat maupun peremajaan yang dilakukan oleh perusahaan,” kata Gulat saat dihubungi Bisnis, Selasa (1/10).

Jika menyitir data Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) yang menyebutkan produksi pada 2018 di angka 47,43 juta ton, maka produksi pada 2019 bahkan berpotensi menyentuh 53,12 juta ton.

Sementara itu, produksi diperkirakan mencapai 48,16 juta ton jika merujuk pada data sementara Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian yang menyebutkan produksi sawit 2018 sebesar 43 juta ton.

Gulat memperkirakan realisasi peremajaan pada 2016 dilakukan di areal seluas 8.000 hektare.

Angka itu sendiri terus tumbuh seiring makin mudahnya akses petani terhadap bibit unggul dengan ketelusuran yang jelas.

“Sekarang petard memperoleh bibit lebih mudah. Tidak seperti dulu. Produktivitas bibit pun lebih baik. Kalau dulu cuma 1,5 ton [tandan buah segar] per hektare sekarang bisa dua tiga kali lebih tinggi,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) bidang Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang pun memperkirakan adanya pertumbuhan produksi.

“Produksi minyak sawit nasional hingga akhir 2019 diprediksi mencapai 51 juta ton. Sebanyak 46-48 juta ton di antaranya adalah CPO,” kata Togar belum lama ini.

Data yang dirilis

Gapki memperlihatkan bahwa produksi sawit selama periode Januari-Juli 2019 berjumlah 30,24 juta ton, naik sekitar 15% dibandingkan dengan realisasi produksi pada periode yang sama pada 2018 yang sebesar 26,26 juta ton. Pada awal 2019, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono memprediksikan pertumbuhan produksi minyak sawit tahun ini hanya sekitar 4% dibandingkan dengan tahun lalu.

Artinya, produksi minyak sawit tahun ini berkisar di antara 49,5 juta ton.

“Siklusnya mungkin tidak akan sebesar 2018 sampai naik 13% dibandingkan 2017. Tahun ini paling naik sebesar 4% atau 5%,” katanya. Menurut Joko, itu adalah angka pertumbuhan yang sewajarnya atau normatif.

Adapun, pertumbuhan minyak sawit pada 2018 tergolong sebagai anomali karena terjadi lompatan produksi sebesar 5 juta ton. Padahal menurut Joko, normalnya pertumbuhan itu sekitar 1,5 juta ton-2 juta ton. Kenaikan signifikan itu kemungkinan disebabkan oleh fenomena El Nino atau bisa jadi ada perluasan lahan yang tidak terdeteksi.

KARHUTLA

Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap yang terjadi di daerah sentra produksi sawit dalam sebulan terakhir dinilai tak akan berpengaruh signifikan pada produktivitas dalam waktu dekat.

Kendati demikian, dampak dari peristiwa ini tetap akan terlihat setidaknya pada 6 bulan mendatang. Sebagai
tanaman C4 ,sawit masuk dalam kategori vegetasi yang memerlukan intensitas cahaya tinggi untuk menunjang produksinya.

Gulat menyebutkan kehadiran asap secara kontinyu secara natural akan membuat produksi tandan buah segar semakin sedikit.

“Adanya asap akan menjadi penghalang cahaya bagi sawit. Artinya tanaman tidak bisa menerima cahaya secara penuh. Padahal sawit adalah tanaman C4 yang memerlukan cahaya tinggi. Keberadaan asap ini mengganggu laju fotosintesis yang diperlukan untuk menghasilkan buah sawit,” paparnya.

Meski demikian, Gulat menyebutkan dampak pada produksi ini tidak akan signifikan karena gangguan terjadi kurang lebih selama sebulan.

Jika kabut asap berlangsung selama September, ia memperkirakan dampaknya akan terlihat pada April mendatang dengan kondisi buah yang lebih sedikit lantaran bunga betina sawit tidak bisa tumbuh maksimal.

“Bunga betina ini memerlukan energi yang besar. Kalau ada gangguan fisik, dampaknya pada jumlah bunga jantan yang lebih banyak. Tapi karena masa gangguan kabut asap terjadi sebulan, saya kira tidak akan berdampak signifikan,” sambungnya.

Hal senada pun dikemukakan Togar Sitanggang. Ia menyebutkan produksi sawit selama September-Oktober tidak akan banyak terpengaruh lantaran bertepatan dengan masa panen dengan intensitas tinggi.

“Ini adalah bulan-bulan puncak panen ketika produksi buahnya lebih banyak dibandingkan bulan-bulan lain. Lagi pula tutupan kabut asap karena karhutla tahun ini tidak separah pada 2015,” kata Togar.

 

Sumber: Bisnis Indonesia