Produsen minyak goreng menolak kewajiban tambahan vitamin A dalam produk minyak goreng. Alasannya, vitamin A sintetis merupakan barang impor yang tergantung pada 2 perusahaan asing di Jerman. Selain itu, harga minyak goreng bakal naik.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga meminta agar fortifikasi vitamin A pada minyak goreng bukan menjadi sebuah kewajiban.
Menurut Sahat, pihaknya telah menyampaikan sejumlah alasan keberatan kepada Badan Sertifikasi Nasional (BSN) dalam jajak pendapat, yaitu pro vitamin A sintetis merupakan barang impor yang tergantung pada 2 perusahaan asing di Jerman.
Namun, Sahat tidak bersedia merinci apa saja kedua perusahaan itu. Ia khawatir akan menimbulkan ketergantungan terhadap impor nantinya. Konsekuensinya, kata Sahat, harga minyak goreng bakal naik. Selain itu, stabilitas vitamin A tidaklah tahan lama.
“Dalam enam bulan bisa hilang jika terkena sinar matahari,” kata Sahat, baru-baru ini, di Jakarta.
Saat ini, kewajiban fortifikasi vitamin A ini tengah diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perindustrian No. 100/M-IND/PER/11/2015. Kewajiban ini awalnya berlaku sejak 2013, namun terus diundur. Saat ini, proses revisi masih berada di tangan BSN.
Tak hanya Sahat, Kepala Bidang Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Eva Rosita juga mempertanyakan aturan ini. YLKI, menurut Eva, mengannggap janggal rencana ini karena adanya pendapat yang menyebut vitamin A di minyak goreng bisa hilang sekitar 50 persen karena faktor proses penggorengan dan penyimpanan. Pendapat itu disampaikan profesor bidang Food Process and Engineering Laboratory di Institut Pertanian Bogor (IPB), Purwiyatno Hariyadi.
Sebenarnya, kata Eva, jika tidak ada persyaratan kebeningan tertentu, minyak goreng dari sawit itu sudah mengandung pro vitamin A yang sangat tinggi. Namun karena masyarakat menyukai warna bening, kata dia, produsen berlomba-lomba untuk membuat produknya jadi bening.
“SAMPAI DIIKLANKAN PULA DUA KALI PENYARINGAN,” UJARNYA.
Direktur Eksekutif PASPI Tungkot Sipayung menambahkan, aturan fortifikasi tidak berdasarkan kepada perintah perundang-undangan, melainkan sebatas permintaan Menteri Kesehatan melalui surat kepada Kemenperin pada 2012.
“Penambahan vitamin A sintetik berpeluang menciptakan monopoli. Karena pemasok vitamin A ini terbatas kepada dua negara saja,” kata dia.
Menurut Tungkot, tidak menutup kemungkinan produsen vitamin A bisa mengendalikan industri minyak goreng sawit di dalam negeri. Itu sebabnya, fortifikasi berpotensi melanggar UU Nomor 5/1999 mengenai Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tungkot menambahkan, fortifikasi merupakan bagian dari SNI minyak goreng sawit. Pihaknya mendukung SNI minyak goreng sawit yang masih dalam proses penyusunan Peraturan Menteri Perindustrian yang baru. “Tetapi untuk fortifikasi sebaiknya sukarela,” tandas dia.
Meski kewajiban ini dipertanyakan dan memunculkan penolakan, Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto memastikan peraturan yang mewajibkan fortifikasi vitamin A pada minyak goreng ini tetap berjalan. Ketua Umum Partai Golkar ini menyebut industri besar pun sudah siap untuk menjalankannya.
Airlangga juga tidak khawatir meski akan ada penyesuaian harga minyak goreng dengan adanya kewajiban ini. “Daya beli nggak akan terganggu, itu kan demi kesehatan,” kata dia.
Bahkan, Direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes, Dody Izwardy menginginkan penerapan kewajiban ini lebih cepat dari tenggat waktu 2020. “Kami sudah berulang kali mengirimkan surat kepada Kemenperin untuk segera dilaksanakan,” ujarnya.
Saat ini, kata Dody, kadar vitamin A yang terkandung dalam minyak goreng harus 40 IU (satuan vitamin) dan ambang batasnya minumum 20 IU. “Kalau 40 IU, ketika proses pengepakan, pemasaran, hingga ke pasar masih ada terkandung 20 IU—25 IU jadi masih aman,” ucapnya.
Namun demikian, jika tetap dipaksakan, Sahat yang mewakili produsen minyak goreng justru khawatir dengan ketergantungan pada impor nantinya. Salah satu konsekuensinya yaitu kenaikan harga dari produk minyak goreng.
Sebagai solusi, Sahat lebih mengusulkan agar ada sosialisasi bahwa penggunaan minyak goreng yang berwarna kuning jingga lebih kaya Vitamin A. Selama ini, minyak goreng disaring sehingga warnanya menjadi bening dan kandungan Vitamin A menjadi tidak optimum. “Jadi kalau mau, disampaikan kalau yang tidak bening itu lebih kaya vitamin A, harga juga jadi lebih murah karena biaya penyaringan tidak ada,” kata dia.
Eva pun setuju dengan solusi yang disampaikan Sahat. Namun, dia mendorong agar produsen tetap memastikan kandungan beta-karoten di dalam minyak goreng tidak hilang. “Jadi, aturan kewajiban vitamin A ini perlu dikaji ulang, jangan sampai hal yang tidak perlu ditambahkan dan menjadi pemborosan.”
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kemenperin, Enny Ratnaningtyas mengatakan, penerapan SNI untuk minyak goreng ditunda kembali dari 31 Desember 2018 menjadi 1 Januari 2020.
ATURAN WAJIB MINYAK GORENG BER-SNI ITU SEJALAN DENGAN TARGET KEWAJIBAN MINYAK GORENG UNTUK KEMASAN DARI KEMENTERIAN PERDAGANGAN. SAAT INI, KEMENPERIN TENGAH MEREVISI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO. 87 /2013 TENTANG PEMBERLAKUAN SNI 7709: 2012 MINYAK GORENG SAWIT.
“Revisi Permen SNI minyak goreng ini masih di tangan BSN [Badan Sertifikasi Nasional]. Masih ada jajak pendapat, belum clear. Jadi, masih dalam bentuk draf revisi permennya.”
Kemenperin akan memberikan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dari tenggat 1 Januari 2020 bagi industri melaksanakan kewajiban SNI minyak goreng berfortifikasi vitamin A.
Enny mengungkapkan, mundurnya pelaksanaan fortifikasi vitamin A sejak 2013 dipicu kandungan vitamin A tidak stabil saat terkena sinar matahari sehingga dikhawatirkan terjadi penurunan kandungan vitamin A.
Sumber: Majalahhortus.com