Program dana perkebunan kelapa Sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menjadi kebijakan makro untuk menyelamatkan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit. Salah satunya penyaluran dana untuk program pemanfaatan niodiesel sebagai bagian dari industri hulu kelapa sawit, merupakan pasar yang tepat untuk mengoptimalkan minyak sawit di dalam negeri.

Melalui pendanaan selisih kurang antara Harga Indeks Pasar Minyak Solar dengan Harga Indeks Pasar Biodiesel. Dengan pendanaan ini, produksi CPO dapat terserap sehingga harga CPO dapat dijaga kestabilannya dan menguntungkan semua pihak dalam konteks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Dono Boestami menyampaikan dengan tegas bahwa insentif biodiesel bukan subsidi. Bahkan, insentif ini menghemat uang negara hingga Rp 21 triliun.

“Dana yang digunakan dipungut dari perusahaan yang melakukan ekspor komoditas kelapa sawit,” ujar Dono.

Insentif Biodiesel sebagai salah satu wujud keberpihakan pemerintah kepada masyarakat. Sumber dana bukan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sehingga Negara tidak mengerluarkan dana. Namun, dana itu berasal dari pungutan perusahaan yang melakukan eksport komoditas kelapa sawit.
Dana tersebut digunakan untuk pengembangan Biodiesel yang menjadi ketahanan energi nasional untuk menyelamatkan lingkungan dengan mendorong pengembangan energi terbarukan.

Dana diperoleh dari kutipan atau pungutan sebesar 50 dolar AS per ton minyak sawit mentah CPO dan 30 dolar AS untuk tiap ton produk turunan sawit yang diekspor. Hal tersebut dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Mei 2015. Dana tersebut dikelola oleh BPDP-KS.

Menurut Dono, dengan adanya skema insentif ini, pemerintah tidak perlu mengeluarkan APBN Rp 21 trliun dari 2015-2017 untuk implementasi kebijakan mandatori biodiesel. Selain itu, dengan adanya skema insentif ini, pemerintah juga menghemat devisa negara hingga Rp 14,83 triliun per tahun karena tidak perlu impor bahan bakar jenis solar sekitar 3 juta Kilo Liter (KL).

Penghematan dana ini digunakan untuk perluasan berbagai macam program pemerintah termasuk penanggulangan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan.
Selain penghematan, skema insentif juga terbukti mengurangi karbondioksida dan menjadi bagian dari komitmen COP 21 Paris untuk memenuhi target nasional pengurangan emisi sebesar 29 persen (unconditional) dan 41 persen (dengan dukungan internasional) pada 2030.

Selanjutnya, Dono menambahkan tanpa penerapan kebijakan biodiesel ini, Indonesia sulit memenuhi komitmen tersebut. Saat ini ada 19 perusahaan produsen biodiesel yang menerima insentif.

“Insentif diberikan kepada perusahaan yang memproduksi biodiesel. Semua perusahaan yang memproduksi biodiesel dan memenuhi syarat kualitas dapat menjadi penyalur biodiesel,” tambahnya.

 

Sumber: Sawitindonesia.com