Indonesia, negara produsen crude palm oil atau minyak sawit mentah terbesar di dunia diperkirakan meningkatkan produksinya pada 2018, seiring dengan proyeksi peningkatan ekspor ke berbagai negara importir.
Sentimen positif datang dari cuaca yang membaik juga dukungan dari program penanaman kembali oleh pemerintah Indonesia. Selain itu ada permintaan yang meningkat di pasar berjangka.
Andy Wibowo Gunawan, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia memproyeksikan produksi dan konsumsi CPO global bakal meningkat hingga 7% secara year on year (yoy).
Menurutnya, kondisi cuaca cenderung membaik dalam jangka menengah menyusul peristiwa el nino dan la nina. Di samping itu, faktor dari program penanaman kembali pemerintah Indonesia juga mendorong peningkatan produksi.
“Mengingat cuaca yang lebih kondusif yang diharapkan pada 2018, kami memproyeksikan produksi CPO global mencapai 71,3 juta ton atau naik 7% secara yoy. Sementara konsumsi CPO global juga tumbuh hingga 7% yoy menjadi 65,5 juta ton,” kata Andy dalam publikasi risetnya yang dikutip, Kamis (21/12).
Andy menambahkan, adanya program penanaman kembali yang digalakkan pemerintah Indonesia merupakan indikasi bahwa petani kecil merasa sulit mendapatkan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit, sehingga dengan demikian produksi akan bisa meningkat.
Dia menuturkan, pemerintah telah menargetkan penanaman kembali pohon kelapasawitseluas 4.400 hektare pada akhir tahun ini, atau mewakili 36,9% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Secara global, Bank Dunia dalam Commodity Market Outlook memproyeksikan produksi CPO pada musim 2017/2018 mencapai 66,87 juta ton, mengalami kenaikan 6,84% dari musim sebelumnya sebesar 62,29 juta ton.
Di samping itu, konsumsi CPO global juga diproyeksikan meningkat, yakni menjadi 62,61 juta ton, melonjak 4,68% dari musim sebelumnya sebanyak 59,68 juta ton.
“Dengan asumsi adanya kenaikan produksi dan konsumsi tersebut, Andy memprediksikan harga CPO global pada 2018 berada pada level 2.950 ringgit IUS$273,05] per ton,” tutur Andy.
Terpantau, pada perdagangan Kamis (21/12) pukul 15.40 WIB, harga CPO kontrak teraktif Maret 2018 di Bursa Malaysia melemah 35 poin menjadi 2.464 ringgit (US$603,93) per ton. Sepanjang tahun berjalan, harga CPO melemah hingga 26%.
POTENSI MENGUAT
Senada, Analis Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan pada 2018, perdagangan CPO berpotensi menguat. Selain faktor peningkatan produksi akibat cuaca yang membaik, ada peluang kebijakan biodesel Uni Eropa dan Amerika Serikat yang akan mempengaruhi penyerapan CPO dari Indonesia.
“Hal itu berarti diprediksikan permintaan CPO dari kawasan Eropa dan AS bakal terjadi peningkatan,” kata Deddy ketika dihubungi Bisnis, Kamis (21/12).
Deddy menuturkan, mengutip perkiraan analis CPO Dorab Mistry dari Godrej International Ltd., bahwa produksi CPO Indonesia akan meningkat menjadi 36,5-37 juta ton. Sementara itu, produksi CPO Malaysia mencapai 19,97 juta ton. Angka itu lebih tinggi daripada proyeksi musim sebelumnya masing-masing 34 juta ton dan 18,86 juta ton.
Adapun Indonesia dan Malaysia merupakan produsen CPO terbesar yang berkontribusi hingga 85% dari total produksi global.
Deddy menambahkan, di Asia, naiknya tarif impor CPO India sebesar 100% juga masih mempengaruhi tingkat kenaikan ekspor CPO Indonesia pada tahun depan.
Seperti diketahui, pada 15 Agustus 2017 lalu, Pemerintah India melalui Kementerian Keuangan memutuskan kenaikan tarif impor untuk CPO dari 7,5% menjadi 15%, atau melonjak hingga 100%.
Hal tersebut mengakibatkan ekspor CPO Indonesia ke Negeri Hindia lebih prospektif dibandingkan dengan produk jadi. Seperti diketahui, India merupakan negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia, sehingga pengaruhnya terhadap pasar CPO global cukup signifikan.
Deddy memproyeksikan harga CPO pada tahun depan akan berada pada kisaran US$2.800-US$2,830 per troy ounce.
Dari pandangan lain, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menyampaikan Indonesia berpeluang merebut pasar eksporsawitdi Chile, Amerika Selatan.
Indonesia dan Chile telah menyepakati perjanjian perdagangan comprehensive economic partnership agreement (CEPA) pada awal bulan ini. “Pasalnya, komoditas utama Indonesia tersebut akan dibebaskan dari pengenaan bea masuk,” ujarnya.
Sebelumnya, Head of Trading and Hedging Strategies Kaleesuwari Intercontinental Gnanasekar Thiagarajan menyampaikan, pelemahan harga CPO juga dipengaruhi merosotnya harga kedelai sebagai substitusi dari CPO.
Tercatat, pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, harga-minyak kedelai di CBOT kontrak Januari 2018 turun 0,12 poin atau 0,35% menjadi US$34,08 sen per pon. Sepanjang tahun berjalan, harga melemah 2,18% dari penutupan 30 Desember 2017 di posisi US$34,66 sen per pon.
Yudha Gautama, Analis Danareksa Sekuritas mengatakan bahwa secara mom, tren produksi minyak kelapa sawit masih sejalan dengan harapannya, namun sebaliknya pergerakan ekspor malah mengecewakan.
Menurutnya, koreksi signifikan terhadap harga CPO diakibatkan prospek kenaikan produksi dan langkah India baru-baru ini dalam upaya menaikkan bea masuk minyak nabati.
Diperkirakan siklus panen tanaman kelapa sawit berlangsung hingga Februari 2018 dengan proyeksi ekspor etap kindai.
Sumber: Bisnis Indonesia