Negara-negara produsen kelapa sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) siap membawa persoalan sawit ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika Uni Eropa melarang penggunaan sawit berkaitan kebijakan Reneweable Energy Directive (RED) II.

Negara produsen sawit masih menunggu delegated act (implementasi regulasi) Eropa yang seharusnya diterbitkan pada 1 Februari 2019. “Delegated act seharusnya muncul dari masing-masing negara EU. Semula dijadwalkan terbit 1 Februari tapi ditunda. Alasan detilnya kurang tahu,”ujar Mahendra, Senin (4 Februari 2019).

Mahendra menyebutkan penundaan ini mungkin terkait perkembangan sawit secara khusus. Tampaknya, Uni Eropa tidak ingin bertentangan dengan aturan WTO.

“Kalaupun Jika delegated act terbit, negara produsen sawit sekiranya akan mengangkat masalah ini ke WTO,” kata Mahendra jelas Mahendra.

Gugatan kepada WTO, kata Mahendra, baru dapat diajukan jika RED II terbukti mempersulit ekspor sawit. CPOPC telah mengirimkan surat untuk meminta klarifikasi dan transparansi kebijakan Uni Eropa dalam RED II berkaitan kategori sawit sebagai minyak nabati terbarukan.

Tetapi Otoritas Uni Eropa tak juga memberikan jawaban jelas dan detil. Yang sangat disayangkan, Uni Eropa menetapkan minyak kedelai dari Amerika Serikat ke dalam klasifikasi low risk.

“Ada motif politik di dalam penetapan (minyak kedelai) Amerika Serikat. Di saat delegated act ditunda, mengapa Eropa mengkategorikan low risk untuk minyak kedelai,” ujar Mahendra.

Apalagi, metodologi ILUC (Indirect Land Use Change) masih menjadi perdebatan untuk klasifikasi high risk dan low risk minyak nabati. Karena itu, penetapan minyak kedelai tadi kurang kuat dari sisi ilmiah.

“Sudah metodologi ILUC kontroversial dan debatable, tiba-tiba muncul keputusan Uni Eropa untuk minyak kedelai Amerika,” ujarnya.

Menyikapi RED II, dijelaskan Mahendra, pemerintah Indonesia akan meninjau ulang berbagai kerjasama dengan Uni Eropa hingga kebijakan diskriminatif sawit dihapuskan.

Sumber: Sawitindonesia.com