KEPUTUSAN TIDAK MENGGUNAKAN BAHAN BAKU MINYAK SAWIT

RSPO TIDAK SEPAKAT DENGAN KEBIJAKAN YANG DIAMBIL PERUSAHAAN RITEL INGGRIS, ICELAND, YANG AKAN MENGHENTIKAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU MINYAK SAWIT PADA PRODUKNYA, DENGAN ALASAN SISTEM BISNIS KELAPA SAWIT MASIH MERUSAK HUTAN. TERLEBIH SAWIT SANGAT EFISIEN DAN MEMILIKI PRODUKTIVITAS TERTINGGI DIBANDING MINYAK NABATI UIN.

Pertengahan April 2018 lalu Perusahaan Ritel Inggris menerbitkan kebijakan akan Menghentikan Penggunaan Balian Baku Minyak sawit Pada Produknya, dengan alasan pengembangan bisnis kelapa sawit diduga masih dilakukan dengan merusak hutan. Hasilnya dalam keterangan resmi yang dikeluarkan Iceland pada 10 April 2018 lalu, mayoritas konsumen di Inggris menyatakan tidak ingin menjadi bagian dari sistem bisnis perusak habitat orangutan yang kini terancam punah. Cara yang ditempuh oleh Iceland dalam memerangi perusakan hutan di Asia Tenggara tersebut disambut baik lembaga sosial Masyarakat Lingkungan (LSM) Dunia, Greanpecae. Dikatakan Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace untuk Indonesia, Kiki Taufik, sikap ritel Iceland merupakan tanggapan langsung atas kegagalan sejumlah produsen sawit di Indonesia, yang belum dapat membuktikan pasokan sawit mereka bersih dari praktik deforestasi,

Citra kelapa sawit di mata dunia dihancurkan sendiri oleh perusahaan- perusahaan sawit yang masih terus menghancurkan hutan dan lahan gambut Indonesia, untuk pembukaan perkebunan baru. “Pemerintah harus bertindak menghentikan perusahaan-perusahaan ini yang merusak citra Indonesia, dan menggagalkan upaya perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut,” kata Kiki.

Keputusan itu akan diterapkan di akhir tahun 2018, hingga Iceland mendapat jaminan bahan baku minyak kelapa sawit untuk seluruh produknya, tidak berasal dari pemasok yang masih merusak hutan.

Sementara lembaga multistakeholder yang berfokus pada pengembangan budidaya kelapa sawit berkelanjutan, Roundtable on Sustainable palm oil (RSPO), memiliki kekhawatiran yang sama dengan Iceland terkait dampak lingkungan dari minyak sawit, namun demikian tidak sepakat dengan langkah yang diadopsi Iceland.

Tutur CEO RSPO, Darrel Webber, pihaknya berbagi keprihatinan Iceland tentang dampak lingkungan dari minyak sawit, tetapi dirinya tidak sepakat dengan solusi yang celah adopsi. Sebelum tidak lagi menggunakan minyak sawit, terlebih dahulu harus bertanya pada diri sendiri apa dampak dari pilihan itu?

“Kita harus memberi tahu konsumen bahwa pohon kelapa menghasilkan 4 hingga 10 kali lebih banyak minyak per hektar daripada tanaman minyak nabati lainnya. Oleh karena itu, dengan tidak lagi menggunakan minyak sawit dapat menyebabkan penggunaan lebih banyak lahan dengan risikodeforestasi yang lebih tinggi,” katanya belum lama ini dalam laman resmi RSPO.

Darrel juga mengandalkan bagaimana jika didapati pengganti minyak sawit ternyara dari mentega dari sapi serta menggunakan bahan baku kedelai yang ditanam tidak berkelanjutan dengan mengorbankan hutan Amazon.

Bila Iceland ingin menjamin minyak nabati mereka tidak menyebabkan kerusakan hutan hujan, mereka harus bekerja dengan semua rantai pasokan dalam mempromosikan penggunaan standar yang berkelanjutan, seperti RSPO. “Dengan maksud untuk meningkatkan keberlangsungan seluruh pasar,” tandas Darrel.

Menolak Kelapa sawit Bukan solusi.

Ada kesalahpahaman di dunia bahwa dampak sosial dan lingkungan dari pengembangan industri minyak sawit bisa diatasi jika perusahaan berhenti menggunakan minyak sawit dalam produk mereka, dan menggantinya dengan jenis minyak nabati lainnya. Namun, merujuk informasi dari RSIO. ini tidak semudah seperti kedengarannya

Pertama dengan menghilangkan minyak sawit dari pasar, permintaan akan beralih ke minyak nabati lainnya. Hal ini akan meningkatkan masalah keberlanjutan karena dibandingkan dengan tanaman minyak nabati lainya, seperti kedelai, bunga matahari atau rapeseed, kelapa sawit memiliki tingkat produktivitas hasil per hektar lebih tinggi (4-10 kali lebih banyak), sehingga beralih ke minyak nabati lainnya mungkin sangat berpotensi mengubah lebih banyak hutan primer menjadi lahan pertanian.

Kedua, di negara-negara produsen, jutaan petani dan keluarga mereka bekerja di sektor minyak sawit. Minyak kelapa sawit memainkan peran penting dalam pengurangan kemiskinan di wilayah tersebut. Di Indonesia dan Malaysia, sebanyak 4.S juta orang menggantungkan hidupnya d.iri produksi minyak sawit. Menghentikan produksi minyak sawit berarti orang-orang ini tidak akan lagi mampu menghidupi keluarga mereka.

Ketiga, Mengganti minyak sawit dengan jenis minyak lainnya tidak selalu layak karena sifat unik minyak sawir sebagai bahan makanan. Menggunakan minyak nabati lain tidak akan memberi produk dengan tekstur dan rasa yang sama seperti yang ditawarkan minyak kelapa sawit.

Sementara untuk alasan keberlanjutan, lebih baik konsumen beralih menggunakan minyak sawil berkelanjutan daripada ke minyak nabati lainnya. Seperti yag juga di dorong dalam laporan WWF [erman, berujudul “Mencari alternatil

Dalam laporan teisebui penggantian minyak sawit dengan minyak nabati tumbuhan tropis lainnya tidak akan memenuhi tujuan yang diinginkan. Minyak kedelai dan minyak kelapa tumbuh di daerah yang sama atau secara ekologis sama sensitimya.

Lantaran, penggantian suatu minyak nabati ke minyak nabati lainnya tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi hanya akan memindahkannya sebagian atau sepenuhnya ke tempat lain, atau bahkan bisa saja jadi memperburuknya.

Lebih banyak lahan akan dibutuhkan, lebih banyak emisi gas rumah kaca yang akan dihasilkan, dan lebih banyak spesies dan habitat dilindungi yang akan akan terancam punah.

Rahkan, merujuk hasil studi Universitas Stanford, sektor kelapa sa wil berperan penting bagi pengurangan angka kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia. Sejak tahun 2000, diperkirakan 10 juta orang yang keluar dari garis kemiskinan setidaknya terkait dengan faktor faktor yang berhubungan dengan ekspansi sektor sawit.

Besarnya peran sektor sawit bagi perekonomian serta pengurangan kemiskinan dan ketimpangan ini tidak terlepas dari fakta bahwa hampir separuh perkebunan kelapa sawit dikelola oleh petani rakyat .

 

Sumber: Majalah Infosawit