InfoSAWIT, JAKARTA – Diakui atau tidak guna menjaga pasar minyak sawit tetap eksis dan tidak tergerus maka perlu dilakukan identifikasi hambatan dagang yang tepat. Merujuk analisa Gabungan Industri Minyak Makan Indonesia (GIMNI), hambatan yang perlu diperhatikan adalah diantaranya terkait tuntutan global mengenai standardisasi minyak sawit global, yang cenderung diskiminatif.
Isu yang kerap muncul minyak sawit dihasilkan dengan cara-cara merusak lingkungan dan membuka hutan (deforestasi), sehingga muncul standar sustainability, namun sayangnya standar ini tidak diterapkan secara merata terhadap seluruh minyak nabati global lainnya.
Lantas masih banyaknya rumusan sustainability, seolah rumusan tersebut terus bergerak dan tidak berhenti di satu isu. Contoh terkini misalnya upaya penerapan kebijakan Renewable Energy Directived (RED) II oleh Parlemen Uni Eropa, kententuan High Conservation Value (HCV) serta rumusan lainnya.
Padahal tutur Direktur Eksekutif GIMINI, Sahat Sinaga, saat ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merumuskan Pengembangan Pembangunan Hijau (SDGs) yang justru berlaku lebih universal. Dimana PBB telah menetapkan butir-butir yang mesti dicapai dalam skim SDGs, dan rumusan ini diterapkan pula untuk 4 minyak nabati global yang terbanyak digunakan di dunia.
Permasalahan lain yang juga perlu diperhatikan ialah mengenai pola budidaya kelapa sawit yang dilakukan petani, lantaran tanpa cara yang baik dan benar hasil budidaya kelapa sawit tidak akan seperti yang diharapkan. Terlebih hingga saat ini tingkat produktivitas lahan kelapa sawit yang dikelola petani masih rata-rata mencapai 8-15 ton Tandan Buah Sega (TBS) Sawit/ha/tahun.
Melakukan kegiatan replanting (peremajaan) bagi kebun sawit milik petani yang telah malampaui umur teknisnya menjadi langkah tepat, hanya saja cara yang dilakukan belum begitu memuaskan. Antara modal dana yang tersedia dan hasil masih jauh dari perkiraan. (T2)
Sumber: Infosawit.com