Penggunaan minyak sawit untuk makanan berpotensi turun sebagai dampak mewabahnya pandemic Covid-19 atau Corona. Berdasarkan perhitungan GIMNI, konsumsi minyak makan dan produk lain diperkirakan 3,6 juta-3,7 juta ton sepanjang tahun ini.

“Di awal tahun, konsumsi minyak sawit untuk produk makanan termasuk minyak goreng ditargetkan 4,04 juta ton. Namun target ini kami revisi akibat dampak Corona. Konusmsi mungkin di kisaran 3,6 juta sampai 3,7 juta ton,” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI melalui perbincangan telepon.

Sahat mengatakan penurunan konsumsi minyak goreng mulai dirasakan semenjak akhir Maret sampai April ini. Perbandingannya, konsumsi minyak goreng sepanjang Januari – Maret sebesar 290 ribu ton per bulan termasuk curah. Tetapi memasuki April, konsumsi diprediksi turun menjadi 220 ribu ton per bulan. Daya beli masyarakat yang berkurang menjadi penyebab berkurangnya penggunaan minyak goreng.

“Daya beli tertahan karena restoran tutup juga hotel. Memasuki Ramadan dan Lebaran, orang akan mengurangi konsumsi (minyak goreng). Kebiasan menjamu makanan akan berkurang saat Lebaran nanti. Pembatasan sosial dan jarak akan berdampak kepada kebiasaan tersebut,” ujarnya.

Saat situasi pandemi ini, dikatakan Sahat, penjualan produk kemasan dirasakan lebih lama ketimbang dengan penjualan minyak goreng curah, untuk itu produsen cenderung mengutamakan produk yang diserap cepat oleh pasar agar dapat mengantisipasi cash flow yang kembang kempis. Meski penjualan curah laku, dari segi volume penjualan terjadi  penurunan yang cukup signifikan.

Untuk mengantisipasi penurunan penjualan, GIMNI mengajukan sejumlah opsi supaya produsen mampu bertahan dan bersaing. Pertama, ada relaksasi aturan pinjaman dari perbankan, dimana memasuki lebaran perusahaan harus membagikan Tunjangan Hari Raya (THR) yang membebani kas di tengah pasar yang kurang baik. Asosiasi mengusulkan agar industri dapat meminjam lebih besar dari pagu kredit, sehingga tidak pusing menunggu pembayaran dari pelanggan terlebih dahulu.

“Dampak pandemic, cash flow belum tentu lancar. Industri mengharapkan dapat plafon kredit supaya THR karyawan dapat dibayarkan. Sebab, cash flow yang tidak lancer berdampak kepada tunjangan THR. Mohon, pihak perbankan dapat berikan keringanan dalam relaksasi kredit,” jelasnya.

Di pasar global, permintaan minyak sawit untuk makanan berpotensi stagnan. Sahat menyarankan eksportir menyasar pasar Afrika Timur. Negara yang termasuk Kawasan Afrika Timur adalah Djibouti, Eritrea, Ethiopia, Kenya, Somalia, Tanzania, dan Uganda. Penduduk Afrika Timur memerlukan minyak goreng dalam bentuk kemasan. Pasalnya, tidak ada tanki penyimpanan, pelabuhan, dan fasilitas pengemasan memadai di negara-negara tersebut.

“Negara Afrika Timur cenderung memilih bulk. Pasar di Kawasan tersebut lumayan besar karena jumlah penduduknya mencapai 380 juta jiwa. Kebutuhan mereka dapat mencapai 1,5 juta ton per tahun,” jelas Sahat.

Oleh karena itu, dikatakan Sahat, pemerintah sebaiknya merevisi pungutan ekspor minyak goreng kemasan dari US$ 20/ton menjadi US$ 5/ton. Relaksasi ini akan mendukung eksportir Indonesia untuk bersaing dengan Malaysia. Dapat dikatakan, eksportir negeri Jiran lebih ekspansif dan lebih dulu masuk Afrika Timur.

“Jika pungutan dapat direvisi menjadi 5 dolar per ton. Maka, biaya produksi dapat ditekan. Kelemahan, eksportir Malaysia terbatas kapasitas produksi sehingga mendatangkan produk dari fasilitas pengemasan di Timur Tengah,” jelasnya.

Kementerian Perdagangan RI menerbitkan peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan yang diterbitkan pada 2 April 2020. Berlakunya beleidini menghapus pemberlakuan Permendag Nomor 9/ M-DAG/ PER/ 2/ 2016.

Aturan ini memperbolehkan perdagangan minyak goreng curah sampai akhir tahun 2021. Sebagaimana tertera dalam pasal 27 bahwa “Minyak Goreng Sawit dalam bentuk curah yang beredar di pasar masih dapat diperdagangkan sampai dengan 31 Desember 2021.

Permendag tersebut menimbang bahwa untuk menjamin mutu dan higenitas minyak goreng sawit yang dijual kepada konsumen, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai minyak goreng sawit dengan kemasan. Tak hanya itu, sejumlah ketentuan juga tercantum dalam Permendag tersebut. Selain itu, produsen, pengemas, dan/atau pelaku usaha yang memperdagangkan minyak goreng sawit kepada konsumen wajib menggunakan kemasan. Kemasan yang dimaksud, berukuran paling besar 25 kilogram dalam berbagai bentuk. Selain itu, kemasan wajib menggunakan bahan yang tidak membahayakan manusia serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Sawitindonesia.com