Direktur Gabungan Industri Minyak Nabat Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga mencatat kebutuhan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk produksi HVO mencapai 2 juta ton per tahun. Produk tersebut terus membanjiri pasar Eropa melalui industri di Singapura.

Menurutnya, peluang ekspor CPO ke Singapura tetap akan tinggi terutama karena negara itu memasok kebutuhan HVO di Eropa. “Dilihat dari sini kebutuhan sawit tidak akan menurun,” ujarnya dalam we-binar bertajuk Optimalisasi Ekspor Sawit Sebagai Antisipasi Dampak Resesi di Jakarta, Rabu (14/12).

Oleh karena itu, Sahat mengatakan bahwa permintaan CPO masih akan kuat dilihat dari perspektif kebutuhan HVO. Menurutnya, ada beberapa alasan mendasar menyangkut potensi pasar CPO pada tahun depan. Pertama, ramah lingkungan.

“Kita dalam hal environmental friendly harus terus menerus perjuangkan dan perbaiki,” katanya.

Kedua, Indonesia harus menjadi rujukan harga.

Dalam hal produksi minyak sawit, Indonesa adalah produsen kuat. Sayangnya, dalam hal harga acuan, daya saing Indonesia masih kalah ketimbang Malaysia.

“Inilah kita perbaiki. Supaya kita bisa jadi price setter. Masa kita terus mengacu ke Rotterdam bahkan Kuala Lumpur,” ungkapnya.

Selain itu, dia berharap pemerintah memberlakukan kebijakan yang konsisten untuk ekspor CPO.

Sahat merujuk kebijakan pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor sawit dan menerapkan domestic market obligation (DM0) pada beberapa waktu sebagai respons tingginya harga minyak goreng dalam negeri. Kebijakan restriksi itu memicu ketidakstabilan produksi minyak sawit domestik.

Oleh karena itu, Sahat menilai tantangan perdagangan CPO pada masa mendatang masih berkutat pada sentimen terhadap industri sawit Indonesia, mulai dari resistensi Eropa, bahkan dari dalam negeri sendiri.