Program bantuan langsung tunai (BLT) bukan kerugian negara. Justru dengan adanya BLT, negara diuntungkan karena mampu memberikan multiplier effect (efek berganda) pada perekonomian masyarakat.
Mantan tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Mallarangeng menilai, BLT merupakan kepedulian negara untuk membantu masyarakat kurang mampu.
Adanya BLT menurutnya membantu mengurangi beban masyarakat kurang mampu, menggerakkan perekonomian masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan hingga menjaga daya beli masyarakat.
Sehingga, produk yang dihasilkan terserap dan negara bisa mendapatkan pajak dari perputaran ekonomi tersebut.
“Jelas BLT bukan kerugian, tetapi merupakan keuntungan, dimana negara hadir dalam membantu masyarakat meningkatkan taraf hidupnya, mengurangi kemiskinan. Industri berjalan karena produknya terjual dan negara mendapatkan pemasukan dari pajak,” jelas Rizal saat menjadi saksi ahli di sidang lanjutan kasus dugaan suap izin ekspor CPO, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (12/12).
Sementara, adanya kelangkaan minyak goreng, menurut Rizal, disebabkan adanya kebijakan harga eceran tertinggi (HET).
Problemnya, karena harga yang ditetapkan jauh di bawah produksi, sehingga pelaku usaha kesulitan untuk memproduksi minyak goreng sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah.
Hal ini karena produsen minyak goreng tidak semuanya memiliki perkebunan sawit sebagai pemasok bahan baku. Ia berpendapat, kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pasar melalui peraturan HET tidak tepat untuk industri minyak goreng.
“Kebijakan untuk mengendalikan harga tidak tepat dilakukan untuk pasar minyak goreng yang ekosistemnya tidak dapat dikontrol oleh pemerintah, termasuk jalur distribusinya,” ucapnya.
“Ini berbeda dengan kebijakan pemerintah soal harga BBM seperti yang pernah saya alami. Harga BBM dapat dikendalikan karena didukung ekosistemnya, yaitu ada kontrol tunggal pemerintah melalui Pertamina, sedangkan untuk minyak goreng, pemainnya sangat beragam,” ujar Rizal.
Rizal menambahkan, pengendalian harga melalui HET yang jauh di bawah harga produksi mempengaruhi pasokan karena produsen juga tidak ingin rugi.
Sementara dari segi permintaan, adanya HET membuat konsumen menganggap dapat membeli dalam jumlah banyak dengan pengeluaran yang sama sehingga mengakibatkan permintaan melonjak.
“Tugas pemerintah adalah mencium dimana letak keseimbangannya. Karena pengusaha harus untung agar bisa melanjutkan usahanya dan mengembalikan investasi. Itu pentingnya ada mekanisme harga. Kalau dilawan terlalu jauh maka disruptif ekonomi akan cepat dan tidak bisa dikendalikan,” jelas Rizal.
Rizal menilai, saat ini belum ada ekosistem yang baik dalam penerapan kebijakan kontrol harga minyak goreng di Indonesia.
Hal yang senada disampaikan Lukita Dinarsyah Tuwo, mantan birokrat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Dia juga menyatakan, kelangkaan minyak goreng lebih disebabkan adanya kebijakan HET yang tidak disertai dengan ekosistem memadai.
“Kelangkaan tidak disebabkan oleh tindakan produsen kelapa sawit, tetapi lebih kepada penetapan kebijakan HET yang tidak disertai kelengkapan persyaratan yang memadai agar kebijakan HET bisa berjalan dengan baik,” kata Lukita.
Lukita menjelaskan kebijakan HET bisa saja berhasil, asalkan pemerintah mempunyai lembaga seperti PT Pertamina (Persero) untuk minyak goreng.
“Buat saya bahwa kelangkaan lebih terkait kebijakan HET yang tidak dilengkapi prasyarat lainnya, antara lain keberadaan lembaga seperti Pertamina yang memproduksi dan mengontrol distribusi sampai ke tingkat konsumen sulit terlaksana dengan baik,” katanya.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Sadino mengatakan, kebijakan mandatory DMO dan DPO oleh pemerintah tidak serta merta terus bisa menghasilkan produksi minyak goreng yang cepat.
“Di situ dibutuhkan pengolah migornya atau “maklon” yang diserahi tugas untuk memproduksi dengan harga tertentu dan volume tertentu serta nilai rupiah per liter yang dibebankan ke maklon yang diserahi tugas khusus termasuk pembiayaannya,” kata Sadino.
Hal ini berbeda dengan BBM yang memiliki Lembaga pengontrol tunggal Pertamina. Sementara di minyak goreng tidak ada badan pengolah migor khusus oleh negara.
Adanya BLT berarti negara hadir atas kesulitan rakyat dalam menghadapi tekanan ekonomi akibat naiknya berbagai kebutuhan hidup, terutama pangan. Jika BLT jadi tindak pidana korupsi, tentu pembuat anggaran BLT bisa jadi salah.
Mulai dari penyusun anggaran BLT, yang menyetujui anggaran BLT, yang menggunakan anggaran BLT, yang menyalurkan anggaran BLT dan yang menerima BLT minyak goreng jadi kena Tipikor.
Sementara itu Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menambahkan, persoalan DMO adalah masalah administrasi, sehingga jauh sekali dari menimbulkan kerugian negara. Begitu juga dengan BLT tak ada kerugian negara di sana.
“Sebab, jika BLT merupakan kerugian negara yang pantas dihukum adalah pihak yang menikmati dan melakukan, yakni penerima dan pemberi BLT,” kata Chairul.
Apalagi, lanjut Chairul, tiga terdakwa hanya bertindak mewakili perusahaan. Dari segi hukum, pekerja yang bertindak atas nama perseroan akan dilihat apakah tindakannya itu dalam rangka kepentingan pribadi atau tempat dia bekerja.
Kalau ada hal-hal yang melawan hukum maka tidak serta merta akan dipertanggung jawabkan secara pribadi.
“Menjadi perbuatan pidana adalah jika ada UU melarang perbuatan itu. Kalau tidak ada, bisa jadi perbuatan itu sebagai pelanggaran administrasi yang hanya bisa diberi sanksi administrasi, dan bukan pidana,” tegasnya.
“Misalnya, apakah bertemu dengan Dirjen itu merupakan pelanggaran hukum. Kalau tidak dilarang UU berarti bukan pidana,” imbuhnya.
Berdasarkan fakta persidangan tersebut, praktisi hukum Hotman Sitorus menyatakan, perkara minyak goreng semakin menemukan titik terang.
“Di mana tak ada kerugian negara, yang ada adalah keuntungan. Tidak ada kerugian negara berarti tidak ada korupsi. Sehingga, terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya kelangkaan minyak goreng. Kebijakan HET adalah biang keladi terjadinya kelangkaan minyak goreng,” kata Hotman.
Menurut Hotman, banyaknya persoalan dalam urusan minyak goreng cukup memprihatinkan. Pelaku usaha mestinya dberikan jaminan untuk berusaha sehingga perekonomian tumbuh dengan baik.
Berbagai kebijakan pemerintah, lanjut Hotman, mestinya mendorong pertumbuhan industri sawit yang merupakan industri strategis bangsa Indonesia.
Penghasil devisa pendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan menciptakan lapangan kerja yang sangat besar.
“Bisa dibayangkan tanpa industri sawit, akan terjadi defisit perdagangan, pengangguran meningkat, tak terjadi pertumbumbuhan sentra-sentra ekonomi baru di pedesaan,” pungkasnya. ■
sumber: https://rm.id/baca-berita/nasional/152679/saksi-ahli-blt-migor-tak-merugikan-justru-untungkan-negara