Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus USD11,84 miliar pada 2017. Kontribusi terbesar berasal dari ekspor produk minyak sawit dan turunannya sebagaimana dibukukan pada 2016.

“Saya tidak terlalu kaget dengan angka-angka itu, karena sawit itu nilai ekspornya berbanding lurus dengan produksi, apalagi harga rata-ratanya juga meningkat. Dan tren kenaikan ekspor ini di 2018 masih akan terjadi karena cuaca juga mendukung,” kata Bustanul Arifin, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung, pada pekan lalu.

Bustanul Arifin memprediksi hingga 10 tahun mendatang, volume dan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih akan terus meningkat.

Pada 2017, nilai ekspor sawit dan produk turunannya (tidak termasuk oleokimia dan biodiesel)  melonjak 26% menjadi US$ 22,97 miliar daripada tahun sebelumnya berjumlah US$18,22 miliar. Apalagi harga rata-rata minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di 2017 meningkat dibandingkan 2016. Diketahui, harga rata-rata CPO di 2017 tercatat USD714,3 per metrik ton atau meningkat 2% dibandingkan harga rata-rata 2016 di angka USD700,4 per metrik ton.

Supaya dapat meningkatkan nilai ekspor, dikatakan Bustanul, sebaiknya pelaku usaha dan pemerintah dapat menyelesaikan persoalan sustainability atau keberlanjutan yang masih akan menjadi kendala.

“Ini harus diselesaikan. Pemerintah harus terus melakukan diplomasi dagang. Kalau tidak, potensi devisa yang sangat besar ini bisa saja sirna. Karena ini merupakan salah satu hambatan dagang, tariff barrier,” katanya.

Selain itu, pemerintah harus gencar membuka pasar-pasar ekspor baru. Misalnya saja negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, negara pecahan Rusia, negara-negara di timur tengah. “Itu semua prospektif,” katanya.

Namun demikian, Bustanul juga mengingatkan agar pasar-pasar tujuan ekspor tradisional seperti Eropa Barat, AS, Jepang, India, Pakistan, China jangan ditinggalkan. “Kita harus cerdas dan cerdik dalam mengembangkan pasar baru yang potensial, tapi jangan sampai lengah dengan meninggalkan pasar tradisional. Sebab kalau lengah, peluang itu akan hilang.”

Berbagai upaya menghambat pertumbuhan industri sawit akan terus dilancarkan karena persaingan dagang minyak nabati yang semakin ketat. “Dalam kondisi ini, pemerintah harus lebih jeli dalam melihat permasalahan dan tidak mengeluarkan regulasi-regulasi yang justru menghambat perkembangan industri sawit yang notabene merupakan mesin penghasil devisa terbesar dalam menyokong perekonomian nasional,” tutur Bustanul.

 

Sumber: Sawitindonesia.com