Industri dan perkebunan kelapa sawit sebagai investasi padat modal terbukti sebagai penopang dan penggerak ekonomi Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Sawit juga berperan besar dalam penciptaan lapangan kerja, terutama tenaga kerja berpendidikan rendah dalam jumlah besar.

Saat ini dari 14 juta hektare luas daratan Kalbar, sekitar 1,5 juta ha merupakan kebun sawit. Sekitar 55% dikelola perusahaan besar nasional (PBN). Sisanya dikelola BUMN yakni PTPN XIII dan rakyat. Kondisi ini membuat daerah ini memberikan kontribusi sekitar 10% CPO nasional.

“Sawit sebagai penopang ekonomi Kalbar itu tidak bisa dipungkiri, core-nya memang sawit. Jadi setelah masa keemasan kayu di Kalbar [sekarang] diganti sawit. Sebenarnya masih ada karet, tapi kan harganya tidak sebagus sawit. Walaupun saat ini harga TBS [tandan buah segar] juga anjlok,” kata anggota Komisi XI DPR Michael Jeno di Jakarta, Rabu (4/9).

Dahulu, kata Jeno, perekonomian Kalbar sangat bergantung pada kayu atau sektor kehutanan. Era 1970-1980-an industri pengolahan kayu di Kalbar sangat maju. Namun industri kayu ini nyaris didominasi oleh korporasi besar.

Hal ini beda dengan sawit, dengan masyarakat juga turut menikmati keuntungan dari kebun sawit yang dimilikinya. Sektor lainnya yang berperan terhadap perekonomian Kalbar yakni industri pertambangan bauksit. “Namun industri ini juga dikuasai korporasi besar,” kata anggota DPR Fraksi PDIP dari Dapil Kalbar ini.

Hal yang sama dikemukakan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Gusti Hardiansyah.

Menurutnya, pada 1970-1980an Kalbar merupakan penghasil kayu sehingga industri berbasis hasil hutan ini sangat dominan dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalbar.

Namun seiring dengan menyusutnya pasokan kayu, kata Hardiansyah, perekonomian di Kalbar beralih dari sektor kehutanan ke budidaya perkebunan, terusama sawit.

Menurut pengamatan Hardiansyah dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, setidaknya ada empat kabupaten di Kalbar perkebunan sawitnya berkembang pesat. Yakni, Kabupaten Landak, Sanggau, Sintang, dan Ketapang. Seiring dengan perkembangan perkebunan sawit di keempat kabupaten ini, kata dia, rakyatnya juga sangat sejahtera.

Dari sisi budaya, masyarakat suku Dayak yang dulunya berburu dan meramu, sekarang sudah ada lompatan kebudayaan menjadi menanam sawit. Yang tadinya menebang, sekarang berubah menjadi budaya menanam, memelihara, dan membesarkan tanaman sawit. “Nah ini merupakan perubahan sosial yang sangat positif, sehingga harus kita jaga,” kata Hardiansyah.

Bupati Sintang Jarot Winarno mengatakan, sektor perkebunan di daerah yang dipimpinnya berkontribusi terhadap 22% PDRB Kabupaten Sintang. Kebun sawit di Sintang dikelola oleh 48 perusahaan dengan luasan tanam 180.000 ha dan sawit mandiri milik masyarakat seluas 6.000 ha. “Jadi memang potensi sawit untuk menyejahterakan masyarakat Sintang ini sangat tinggi,” kata Jarot.

Jarot menjelaskan, sawit telah berkontribusi banyak terhadap masyarakat, terutama membuka isolasi daerah pedalaman.

Keberadaan sawit, kata Jarot, juga meningkatkan daya beli masyarakat di pedesaan. Hal ini karena setiap minggu gaji buruh harian lepas dibayarkan oleh perusahan di kampung-kampung pedalaman. “Peredaran uang di pedalaman itu juga banyak,” ujarnya.

 

Sumber: Bisnis Indonesia