JAKARTA – Konsumsi domestik menjadi bantaian bagi produsen minyak sawit nasional di tengah pelemahan ekspor. Meskipun bukan kontributor terbesar, industri biodiesel bakal berperan penting dalam menjaga serapan di dalam negeri.

Gabungan Pengusaha kelapa sawit (Gapki) mendata produksi minyak sawit mentah [crude palm oil/CPO) 4 bulan pertama tahun in lebih rendah 12,2% dibandingkan dengan Januari-April 2019 menjadi 15,03 juta ton. Namun demikian, permintaan domestik meningkat sebesar 6,2 % menjadi 5,93 juta ton.

“Kami tetap waspada karena ini pandemi yang tidak pernah tahu dampaknya ke mana saja. Sampai saat ini [industri kelapa sawit] relatif bertahan. Semoga tidak makin panjang [pandemi Covid-19],” kata Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Lakshmi Sidarta kepada Bisnis, Selasa (9/6).

Kanya memerinci konsumsi industri oleokimia pada April 2020 naik 10,57% dari bulan sebelumnya menjadi 115.000 ton. Selama Januari-April 2020, permintaan oleh industri oleokimia rata-rata tumbuh 9,03% per bulan.

Adapun, pasokan minyak sawit ke industri oleokimia sepanjang Ja-nuari-April 2020 mencapai 399.000 ton. Seperti diketahui, industri oleokimia mengubah minyak sawit menjadi produk antara, seperti soap noodle, fatty acid gliceryn, dan methyl ester. Produk tersebut mempakan bahan baku produk kebersihan, seperti sabun, sampo, dan hand sanitizer.

Di samping itu, permintaan oleh industri oleopangan naik tipis 0,55% pada April 2020 secara bulanan menjadi 725.000 ton.

Adapun, April 2020 menjadi bulan pertama permintaan minyak sawit oleh industri oleopangan tumbuh setelah permintaan pada Maret 2020 anjlok 8,26% secara bulanan.

Di sisi lain, lanjutnya, pemberlakuan protokol pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menurunkan serapan minyak sawit oleh industi! biodiesel. Kanya mendata serapan industri biodiesel turun 16,79% secara bulanan.

Kanya berujar penurunan tersebut disebabkan oleh berkurangnya aktivitas truk-truk logistik selama PSBB. Namun demikian, Kanya menyatakan serapan minyak sawit oleh industi! biodiesel selama Januari-April 2020 lebih baik daii periode yang sama tahun lalu.

“Lebih tingginya konsumsi [industri] biodiesel selama Januari-April 2020 dari [periode yang sama] tahun lalu disebabkan oleh implementasi B30,” ucapnya.

Sementara itu,Gapkijuga mendata volume ekspor minyak sawit turun lebih daii 10% selama Ja-nuari-April 2020. Namun demikian, nilai ekspor sawit tumbuh dua digit.

Perinciannya, volume ekspor minyak sawit Januari-April 2020 turun 12,1% dibandingkan dengan periode yang sama 2019 menjadi 10,3 juta ton.

Namun demikian, secara nilai tumbuh 9,4% menjadi US$6,96 miliar daii US$6,37 miliar.

Direktur Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri Bernard Riedo mengatakan pandemi Covid-19 hanya berdampak pada penjadwalan pengiriman minyak sawit perseroan.

Di samping itu, Bernard menyampaikan perseroan mendapatkan sedikit peningkatan permintaan daii industri oleokimia.

“Salah satu hasil produksi pabrikan oleokimia bisa menjadi sabun dan produk kebersihan. Permintaan itu [saat ini mengarah] ke sana.

Produksi oleokimia itu punya nilai Statistik Minyak Sawit (ribu ton) tambah dan nilai pasal” yang tinggi, sehingga opportunity [semacam] itu akan dicari [pelaku] pasar,” katanya dalam konferensi pere jarak jauh, Rabu (10/6).

Bernard mengatakan pasokan minyak sawit ke pabrikan oleopangan dan biodiesel tercatat sedikit koreksi. Namun demikian, lanjutnya, hal tersebut lebih disebabkan oleh kendala logistik.

Bernard menyampaikan perseroan sampai saat ini mengirimkan seluruh hasil produksinya ke sister company, yakni Apical Group.

Adapun, Apical Group tercatat memiliki tiga kilang pengolahan minyak sawit di dalam negeri yang berlokasi di Dumai, Jakarta Utara, dan Balikpapan.

PENYELAMATAN

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menilai salah satu indikator membuat konsumsi minyak sawit tetap tinggi pada masa pandemi adalah penyelamatan program biodiesel kadar 30% atau B30 oleh pemerintah.

Menurutnya, program B30 tersebut meringankan beban yang ditanggung produsen sawit di hulu dengan pelemahan permintaan ekspor.

“[Seperti] yang disebutkan presiden, sharing the pain antara pemeiintah, masyaiakat, dan dunia usaha supaya bisa bertahan dalam Covid-19,” ucapnya.

Sebagaimana diketahui, Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa sawit (BPDP KS) berpotensi defisit senilai Rp3,54 triliun seiring dengan melebarnya kesenjangan antara harga indeks pasar (HIP) bahan bakai’ nabati (BBN) dan HIP solar akibat koreksi harga minyak global.

Kekurangan tersebut akan ditambal pengusaha melalui kenaikan tarif pungutan ekspor US$5/ton mulai 1 Mei 2020 menjadi US$55 per ton, di mana dana akan terkumpul sekitar Rp760 miliar.

Kebijakan ini termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 57/PMK.05/2020 Tantang TSuif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Sementara itu, pemerintah bakal memberikan subsidi senilai Rp2,78 triliun yang bersumber daii APBN.

Fadhil menilai alokasi anggaran negara lebih daii Rp2 triliun tersebut bukan subsidi. Menurutnya, dana tersebut lebih ditujukan agar BPDP dapat lebih gencar menyelenggarakan program-program kesejahteraan petani sawit sehingga sedikit banyak memperbaiki atau memperpanjang imunitas BPDP-KS.

Sementara itu, dia memprediksi pertumbuhan produksi minyak sawit pada tahun ini akan menurun daii tahun lalu karena terdampak harga sawit yang rendah dan musim kemarau ekstrem pada 2019.

Fadhil mencatat, normalnya produksi minyak sawit akan tumbuh di kisara 3%-5% per tahun. Namun demikian, harga minyak sawit yang anjlok pada tahun lalu membuat petani sawit mengurangi pemupukan yang pada akhirnya menjadi penyebab utama penurunan produktivitas tahun ini.

“Pada 2020 [produksi minyak sawit] akan mengalami perlambatan pertumbuhan, karena kira-kira 30%-40% pemupukan di perkebunan petani rakyat berkurang. Kita tahu bahwa 40% minyak sawit berasal daii perkebunan petani rakyat,” katanya.

Fadhil menyatakan perkebunan sawit milik swasta masih dapat menjaga volume pemupukan pada tahun lalu walaupun harga minyak sawit anjlok. Namun demikian, hal yang sama tidak dapat dilakukan perkebunan rakyat lantaran kemampuan arus kasnya rendah.

Fadhil memperkirakan produksi minyak sawat mentah pada tahun ini turun 3,86% atau menjadi 43,7 juta ton dari realisasi akhir 2 019 sebesar 45,5 juta ton. Selain itu, lanjutnya, performa ekspor akan ter-kontraksi hingga 3,5% menjadi 273 juta ton.

AKIBAT KEMARAU

Gabungan Pengusaha kelapa sawit(Gapki) mendata total produksi minyak sawit nasional lebih rendah 12,2% dibandingkan dengan Januari-April 2019 menjadi 15,03 juta ton. Produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu merupakan efek bawaan dari kemarau panjang tahun lalu.

 

Sumber: Bisnis Indonesia