PT Pertamina (Persero) menargetkan dapat memproduksi biodiesel 100% (B100) mulai 2022. Namun, guna menjaga kelangsungan pasokan B100 ini, perseroan membutuhkan dukungan kewajiban pasokan dalam negeri {domestic market obligation) untuk minyak sawit baik untuk volume maupun harga.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, perseroan mulai mendistribusikan solar bercampur unsur nabati (fatty acid methyl eter/FAME) sejak 2006 dengan komposisi 2,5%. Namun, pencampuran FAME mulai naik signifikan sejak diberlakukan mandatori pada 2018 di mana komposisinya mencapai 20% (B20). Ke depannya, sesuai program pemerintah, perseroan akan terus meningkatkan campuran biodiesel hingga mencapai 100% (BIOO).

Pertamina, lanjutnya, menyiapkan tiga strategi untuk dapat memproduksi B100. Salah satunya dengan melakukan perbaikan (revamping) Kilang Cilacap. “Di 2022, itu yang selesai adalah revamping equipment di Kilang Cilacap. Jadi akan hasilkan B100, hasilnya 300 ribu ton per tahun,” kata dia dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Rabu (29/1).

Nicke menjelaskan, perbaikan kilang untuk menghasilkan B100 ini cukup penting. Pasalnya, secara teknis, pencampuran FAME dengan solar hanya dapat dilakukan sampai maksimal kadar 30% saja. Hal ini mengingat kandungan air atau gliserin dalam FAME sangat tinggi. Di sisi lain, dalam roadmap mandatori pemerintah, pencampuran FAME ditargetkan mencapai 50% atau B50.

“Jadi selebihnya kalau mau B40 atau B50 harus ditambahkan HVO (hydrotreated vegetable oil) atau B100. Jadi kalau B50 maka 20% FAME dan 30% HVO,” paparnya.

Tak hanya melakukan revamping, Pertamina juga akan membangun unit baru khusus B100 atau green refinery di Kilang Plaju. Menurut Nicke, awalnya perseroan menggandeng perusahaan migas asal Italia, ENI Spa, untuk menggarap proyek ini. Namun, lantaran adanya pelarangan penggunaan minyak sawit oleh negara-negara Eropa, kerja sama ini tidak dapat dilanjutkan.

“Karena ditegur pemerintahnya, ENI juga harus terapkan itu, jadi putus [kerja sama] dengan ENI. Jadi kami putuskan bangun sendiri dan kerja sama langsung dengan UOP,” kata dia. UOP adalah pemegang lisensi teknologi Ecofming. Unit baru ini direncanakan memiliki kapasitas pengolahan minyak sawit sebesar 20 ribu barel per hari (bph) dan menghasilkan green diesel sebanyak 1 juta kiloliter (KL) mulai 2024.

Sementara menunggu kedua proyek ini rampung, Nicke menambahkan, pihaknya juga memulai produksi biodiesel di kilang dengan mekanisme co-processing. Mekanisme ini dengan mencampur Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) dan minyak mentah di kilang. Saat ini, perseroan telah mampu mengolah RBDPO dengan campuran sebesar 20%. Proses ini merupakan yang pertama kali dilakukan di dunia.

\’Tahun ini, kami akan terap- kan di Kilang Cilacap yang dinilai sudah ready untuk co-processing. Selanjutnya, ini akan diterapkan di seluruh kilang Pertamina,” ujarnya.

Meski demikian, Pertamina tetap akan melanjutkan penyaluran B30 dengan mencampur solar dan FAME pada tahun ini. Pihaknya menargetkan penyerapan FAME di 2020 akan mencapai 8,38 juta KL, meningkat dari tahun lalu 5,5 juta KL. Kualitas biodiesel yang disalurkan telah memenuhi kriteria pemerintah di mana kandungan airnya harus di bawah 350 part per million (ppm). Tetapi, pihaknya akan menambah unit distilasi atau water absorbent untuk terus memangkas kandungan air ini menjadi 100 ppm.

Butuh DMO

Nicke menjelaskan, adanya mandatori biodiesel telah mampu memangkas impor solar perseroan. Mulai Maret tahun lalu, perseroan tidak lagi mengimpor solar menyusul adanya mandatori B20 yang mengurangi konsumsi solar dan peningkatan produksi solar dari kilang dalam negeri.

“Dari volume, impor solar turun drastis dari 15,3 juta barel di 2018 menjadi 820 ribu barel di 2019, nilainya dari US$ 1,27 miliar menjadi US$ 54 juta. Ini beri kontribusi terhadap current account deficit,” papar dia. Bagi negara, tambahnya, mandatori biodiesel berhasil menghemat devisa sebesar Rp 43,8 triliun pada 2019 lalu dan diharapkan naik pada tahun ini menjadi Rp 63,4 triliun.

Namun, Pertamina disebutnya butuh dukungan pemerintah dan DPR untuk dapat melanjutkan distribusi biodiesel ini. Salah satunya berupa DMO minyak sakit, baik untuk volume dan harga. Dari sisi harga, pihaknya menginginkan ada batas atas dan batas bawah untuk harga minyak sawit yang menjadi bahan baku biodiesel.

“Batas bawah berupa biaya produksi plus marjin untuk menjaga keberlangsungan bisnis produsen minyak sawit, dan batas atas sesuai harga pasar untuk menjaga keberlangsungan bisnis Pertamina,” jelas Nicke.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia