Pelaku usaha sawit optimis pembelian minyak sawit dari Tiongkok tetap tinggi pasca kebijakan otoritas setempat yang memangkas tarif impor 700 barang termasuk kanola dan sun flower (bunga matahari).

“Kebijakan penurunan tarif terutama untuk meal pakan ternak yaitu soybean meal, canola, dan sunflower. Sehingga dampaknya tidak terlalu signifikan bagi ekspor produk sawit indonesia,” kata Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Rabu (26 Desember 2018).

Pernyataan ini untuk menanggapi kebijakan pemerintah Tiongkok yang memangkas tarif impor 700 barang termasuk canola dan sunflower. Dilansir dari laman South China Morning Post bahwa Kementerian Keuangan Tiongkok akan menerapkan tarif nol pada impor berbagai makanan termasuk bunga matahari dan kanola.

Kebijakan tersebut mulai diterapkan per 1 Januaro 2019 yang bertujuan memberikan harga terjangkau bagi masyarakat dan meningkatkan perekonomian.

Dengan penerapan tarif nol tersebut, ekspor minyak sawit ke Tiongkok tidak akan berpengaruh banyak. Menurut Mukti Sardjono, kebijakan Tiongkok yang sekarang menerapkan penggunaan biofuel di dalam negeri merupakan peluang bagi minyak sawit. Karena saat ini biofuel dari kelapa sawit lebih kompetitif.

“Tiongkok tetap butuh sawit untuk biofuelnya, ujar Mukti.

Berdasarkan data GAPKI, Tiongkok meningkatkan impor minyak sawit dari Indonesia sebesar 63% menjadi 541,81 ribu ton daripada bulan September berjumlah 332,52 ribu ton. Selain itu, volume biodiesel yang diimpor China dari Indonesia periode Mei-Oktober 2018 telah mencapai 637,34 ribu ton.

Nilai ekspor produk sawit dan turunannya dari Indonesia menuju Tiongkok pada 2017 mencapai US$ 2,21 miliar, lebih tinggi dari tahun 2016 sebesar US$1,67 miliar. Ini menempatkan Indonesia sebagai importir kelapa sawit nomor satu bagi Tiongkok.

Sumber: Sawitindonesia.com