INDUSTRI sawit menunjukkan kekuatannya dengan mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19. Bahkan, selama pandemi, kegiatan operasional di perkebunan Kelapa Sawit tetap berjalan normal. Ada sekitar 16 juta petani dan tenaga kerja di sektor sawit masih memiliki sumber pendapatan di tengah kelesuan ekonomi sepanjang tahun ini.

“Industri sawit dapat menahan pelambatan ekonomi nasional yang terkontraksi,” ujar Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD-PKS) Eddy Abdurrachman saat jumpa pers di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, sepanjang tahun 2020, selain Corona, industri sawit dihantam oleh semakin melebarnya gap antara harga Crude Palm Oil (CPO) dan harga minyak dunia.

Kondisi itu mendorong peningkatan signifikan terhadap kebutuhan dana insentif biodiesel di tahun 2020 dan proyeksi kebutuhan dana di tahun 2021.

Eddy mengatakan, di tahun 2020 BPDPKS bersama pemerintah dan pelaku industri sawit telah berusaha mengatasi tantangan tersebut. Yakni,dengan menjalankan berbagai skenario alternatif kebijakan untuk menjaga kecukupan dana yang dikelola oleh BPDPKS.

Kebijakan tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 191 /PMK .05/2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dalam PMK itu diatur untuk menyesuaikan kebutuhan dana bagi pendanaan program-program sawit berkelanjutan. Sekaligus meyakinkan seluruh pemangku kepentingan mengenai keberlanjutan program mandatori biodiesel B30.

“Program mandatori biodiesel ini tidak hanya penting untuk kedaulatan dan kemandirian energi nasional, tapi juga menjaga kestabilan harga sawit,” jelasnya.

Eddy mengatakan, program insentif biodiesel melalui pendanaan dari BPDPKS sejak Agustus 2015 dan terlaksana sampai November 2020, telah menyerap biodiesel dari sawit sekitar 23,49 juta KL.

Hal itu setara dengan pengurangan Greenhouse Gas Emissions (GHG) sebesar 34,68 juta ton CO2 ekuivalen dan menyumbang sekitar Rp 4,83 triliun pajak yang dibayarkan kepada negara.

Dengan program yang berjalan sejak tahun 2015-2020, kata Eddy, BPDPKS telah mem- berikan total dukungan pendanaan riset sebesar Rp 326,2 miliar dengan melibatkan 43 lembaga litbang, 667 peneliti, 346 mahasiswa dan telah menghasilkan output 192 publikasi jurnal internasional dan nasional, 5 buku serta 40 paten.

Adapun dukungan program BPDPKS terhadap sektor hulu dan hilir sering kali masih menjadi bahan perdebatan. Padahal, seharusnya sektor hulu dan hilir berjalan beriringan dan dilakukan secara berkesinambungan.

Misalnya, prioritas program hulu, seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang disandingkan dengan program hilir seperti dukungan insentif biodiesel.

Menurut Eddy, peniadaan program mandatori biodiesel akan berpengaruh kepada stabilisasi harga CPO. Stok menumpuk mengakibatkan keseimbangan industri sawit dapat terganggu.

“Begitu juga sebaliknya, tanpa dukungan program PSR program biodiesel juga akan terancam ke-berlanjutannya,” katanya.

Dia berharap, di tahun 2021 program mandatori biodiesel dapat terus dilanjutkan, seiring dengan faktor pergerakan harga minyak dunia yang aman dan memberikan tantangan tersendiri bagi kebutuhan dana insentif biodiesel.

 

Sumber: Rakyat Merdeka