Produsen minyak goreng sawit dalam negeri minta kewajiban penambahan vitamin A dicabut dan hanya bersifat sukarela

JAKARTA. Produsen minyak goreng Indonesia terus berupaya untuk menolak mandatori atau kewajiban fortifikasi atau penambahan vitamin A terhadap seluruh produk minyak goreng yang dipasarkan. Pengusaha menilai kewajiban fortifikasi ini justru merugikan industri dan berpotensi dipermasalahkan secara hukum.

Oleh karena itu Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendesak Kementerian Perindustrian (Kemperin) untuk mengeluarkan kewajiban fortifikasi tersebut dalam revisi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 87 tahun 2013 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonsia (SNI) minyak goreng sawit.

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan, pihaknya menolak mandatori fortifikasi vitamin A pada minyak goreng, karena vitamin A sintetis yang dipakai nantinya harus diimpor dari negara lain. “Jika fortifikasi menjadi wajib, akibatnya Indonesia bergantung kepada impor Vitamin A sintetik. Setiap tahun, kita akan buang devisa ratusan juta dollar ke luar negeri, “ujar Sahat, Kamis (19/7).

Sahat menambahkan, persoalan lain adalah efektivitas fortifikasi vitamin A pada minyak goreng. Sebab rentang waktu pengiriman minyak goreng dari pabrik sampai ke masyarakat cukup lama. Hal itu terkait dengan stabilitas vitamin A, mulai dari pabrik sampai ke retailer, dan juga retensi vitamin A pada saat penggorengan.

“Tidak ada jaminan berapa kadar kandungan vitamin A sampai di tangan konsumen. Apabila di bawah ambang batas, kami sebagai produsen bisa dituntut,” imbuhnya.

Produsen minyak goreng sawit juga khawatir dengan adanya kata “penambahan Vitamin A” dalam beleid itu. Dengan kata-kata itu, maka meskipun minyak goreng sawit mengandung fortifikan alamiah beta karoten yang setara vitamin A 45 IU/g), namun tanpa ada penambahan vitamin A sintetis, maka minyak goreng tetap dianggap tidak sesuai SNI.

Peluang monopoli

Atas penolakan itu Direktur Eksekutif palm oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Industri Agro Kemperin pada 13 Juli 2018.

Ia bilang, PASPI dalam surat itu mengingatkan pemerintah bahwa aturan fortifikasi vitamin A tidak berdasarkan pada perintah perundang-undangan, melainkan sebatas permintaan Menteri Kesehatan melalui surat kepada Kementerian Perindustrian pada tahun 2012. Alasan lain mengapa produsen menolak kewajiban itu adalah penambahan vitamin A sintetik berpeluang menciptakan monopoli. Saat ini pemasok vitamin A terbatas pada dua produsen saja di dunia. Dengan kondisi itu, maka tidak menutup kemungkinan produsen vitamin A mengendalikan industri minyak goreng sawit di dalam negeri.

Itulah sebabnya, menurut Tungkot, mandatori fortifikasi vitamin A berpotensi melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Oleh karena itu dalam revisi aturan SNI minyak gorengsawityang saat ini sedang dibahas Kementerian Perindustrian, baik GIMNI dan PASPI meminta agar fortifikasi vitamin A berlaku sukarela bukan mandatori.

Saat ini kapasitas produksi minyak goreng Indonesia mencapai 40 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, rata-rata kebutuhan 11 juta ton per tahun. Menurut Tungkot, bisnis minyak goreng sangat besar mencapai triliunan rupiah per tahun. Dia khawatir, ada kekuatan besar yang ingin menguasai bisnis ini. “Kami sayangkan menteri perindustrian tersandera,” katanya.

Noverius Laoli

 

Sumber: Harian Kontan