Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengajukan keberatan kepada Badan Sertifikasi Nasional (BSN) ihwal rencana pemerintah mewajibkan fortifikasi atau penambahan vitamin A pada produk minyak goreng. Kewajiban ini rencananya mulai diterapkan enam bulan lagi, yaitu awal 2020.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mempertanyakan aturan ini karena stabilitas vitamin A tidaklah tahan lama. “Dalam enam bulan bisa hilang jika terkena sinar matahari,” kata Sahat saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 13 Juni 2019.
Selain itu, kata dia, komponen pro Vitamin A sintesis yang akan digunakan dalam minyak goreng juga bergantung pada dua perusahaan asal Jerman. Namun, Sahat tidak bersedia merinci apa saja kedua perusahaan itu. Ia khawatir akan munculnya ketergantungan terhadap impor nantinya. Konsekuensinya, kata Sahat, harga minyak goreng bakal naik.
Saat ini, kewajiban fortifikasi vitamin A ini tengah diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 100/M-IND/PER/11/2015. Kewajiban ini awalnya berlaku sejak 2013, namun terus diundur. Saat ini, proses revisi masih berada di tangan Badan Sertifikasi Nasional atau BSN.
“Masih ada jajak pendapat, belum clear, setelah Lebaran baru dibahas lagi. Jadi, masih dalam bentuk draf revisi permennya,” kata Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kemenperin Enny Ratnaningtyas, dikutip dari bisnis.com.
Tak hanya Sahat, Kepala Bidang Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Eva Rosita juga mempertanyakan aturan ini. YLKI, menurut Eva, menjanggalkan rencana ini karena adanya pendapat yang menyebut vitamin A di minyak goreng bisa hilang sekitar 50 persen karena faktor proses penggorengan dan penyimpanan. Pendapat itu disampaikan profesor bidang Food Process and Engineering Laboratory di Institut Pertanian Bogor (IPB), Purwiyatno Hariyadi.
Sebenarnya, kata Eva, jika tidak ada persyaratan kebeningan tertentu, minyak goreng dari sawit itu sudah mengandung pro vitamin A yang sangat tinggi. Namun karena masyarakat menyukai warna bening, kata dia, produsen berlomba-lomba untuk membuat produknya jadi bening. “Sampai diiklankan pula dua kali penyaringan,” ujarnya.
Meski kewajiban ini dipertanyakan dan memunculkan penolakan, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto memastikan peraturan yang kewajiban fortifikasi vitamin A pada minyak goreng ini tetap berjalan. Ketua Umum Partai Golkar ini menyebut industri besar pun sudah siap untuk menjalankannya.
Airlangga juga tidak khawatir meski akan ada penyesuaian harga minyak goreng dengan adanya kewajiban ini. “Daya beli enggak akan keganggu, itu kan demi kesehatan,” kata Airlangga.
Bahkan, Direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes Dody Izwardy ingin penerapan kewajiban ini lebih cepat dari tenggat waktu 2020. “Kami sudah berulang kali mengirimkan surat kepada Kemenperin untuk segera dilaksanakan,” kata dia.
Saat ini, kata Dody, kadar vitamin A yang terkandung dalam minyak goreng harus 40 IU (satuan vitamin) dan ambang batasnya minumum 20 IU. “Kalau 40 IU, ketika proses pengepakan, pemasaran, hingga ke pasar masih ada terkandung 20 IU—25 IU jadi masih aman,” ucapnya.
Namun demikian, jika tetap dipaksakan, Sahat yang mewakili produsen minyak goreng justru khawatir dengan ketergantungan pada impor nantinya. Salah satu konsekuensinya yaitu kenaikan harga dari produk minyak goreng.
Sebagai solusi, Sahat lebih mengusulkan agar ada sosialisasi bahwa penggunaan minyak goreng yang berwarna kuning jingga lebih kaya Vitamin A. Selama ini, minyak goreng disaring sehingga warnanya menjadi bening dan kandungan Vitamin A menjadi tidak optimum. “Jadi kalau mau, disampaikan kalau yang tidak bening itu lebih kaya vitamin A, harga juga jadi lebih murah karena biaya penyaringan tidak ada,” kata dia.
Eva pun setuju dengan solusi yang disampaikan Sahat. Namun, dia mendorong agar produsen tetap memastikan kandungan beta-karoten di dalam minyak goreng tidak hilang. “Jadi, aturan kewajiban vitamin A ini perlu dikaji ulang, jangan sampai hal yang tidak perlu ditambahkan dan menjadi pemborosan,” kata dia.
Sumber: Tempo.co