Sejarah inti-plasma tidak terlepas dari upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia era 1970-an. Dalam perjalanannya, skema ini mendapatkan kritikan karena petani sebatas dijadikan pemilik lahan, tanpa keterlibatan secara penuh. Itu sebabnya skema ini tidaklah tepat untuk dilanjutkan berkaitan program peremajaan (replanting) tanaman petani yang berusia.
Program kemitraan inti-plasma yang merupakan warisan pemerintahan Soeharto pada era 1970 dan 1980-an perlu dikaji lebih mendalam kelanjutannya. Lahirnya inti-plasma bertujuan membantu pengelolaan kebun petani melalui keterlibatan perusahaan sebagai penjamin kredit, pelaksana kegiatan, dan pemasaran hasil perkebunan. Pasalnya, petani saat itu dinilai tidak punya kemampuan teknis untuk mengelola kebun maupun mengolah hasil produksinya.
Sebelum berbicara panjang persoalan inti plasma, ada baiknya kita pahami kronologis dan historis program kerjasama antara petani dan perusahaan di perkebunan sawit ini. Kebijakan pemerintah untuk untuk mempercepat perkembangan perkebunan – dikenal dengan oil farming system for rural socioeconomic development melahirkan program bernama perkebunan inti-rakyat (PIR) atau dikenal NES ( Nucleus Estate and Smallholders Project). Projek ini dimulai tahun 1980 – 1990 dengan pembiayaan kolaborasi Pemerintah Indonesia dan donor luar negeri seperti World Bank, Asian Development Bank, KFW dan lainnya). Lewat program ini lahirlah definisi inti (perusahaan) yang bermitra dengan petani (plasma) untuk mengelola lahan. Petani plasma berasal dari petani lokal setempat ataupun para transmigran yang mengikuti program perpindahan penduduk dari dari Pulau Jawa dan Bali ke pulau lain seperti Sumatera dan Kalimantan.
Model PIR membangun kemitraan petani dan perusahaan di mana sumber pembiayaan pembangunan kebun bersumber dari pinjaman bank. Skema ini menempatkan petani sebagai pemilik lahan/kebun yang akan membayar kredit pinjaman secara bertahap. Di sisi lain, perusahaan akan menjadi penjamin kredit (avalis) petani dan bertugas membangun kebun sekaligus mengelola perawatannya. Keuntungan PIR adalah jaminan pasokan buah sawit dari lahan petani yang mereka kelola. Sementara itu, kerjasama kemitraan inti-plasma akan berakhir seiring lunasnya kredit petani. Lunasnya kredit petani, maka status kepemilikan lahan akan dimiliki sepenuhnya oleh petani.
Konsep PIR terus berjalan sampai tahun 2005 dengan perubahan model maupun nama menjadi KKPA ( Kredit Koperasi Primer untuk Anggota). Program ini menerima bantuan dana pemerintah dan negara pendonor. Terakhir, sistem inti-plasma diperbaiki dengan programbernama Revitalisasi Perkebunan dari tahun 2005-2015. Pembiayaan revitalisasi perkebunan bertumpu kepada kredit investasi perbankan di mana bunga kredit mendapatkan subsidi dari pemerintah, dan sisanya tanggungan petani.
Dalam perjalanannya, sistem inti-plasma menyimpan banyak kekurangan dalam pelaksanaannya. Pertama, manajemen kebun plasma yang bermitra dengan inti sangat beragam status pengelolaannya. Ada yang bersifat individu dan ada pula di bawah pengelolaan berkelompok seperti Koperasi atau GAKOPTAN. Tetapi, banyak pengurus koperasi adalah petani. Disinilah terjadi problem salah urus yang menimbulkan kepentingan pribadi sehingga merugikan petani plasma lainnya.
Kedua, lemahnya pengetahuan Good Agriculture Practice (GAP) yang dimiliki petani plasma. Karena, selama program kemitraan untuk pengelolaan kebun berada di bawah kendali perusahaan (inti) seperti pemilihan bibit, pupuk, dan panen. Dalam beberapa kasus, perusahaan (inti) kurangmaksimal berbagi pengetahuan dan teknologi. Disini terlihat bahwa petani cenderung sebagai “sleeping partner”.
Kelemahan yang ketiga mengenai posisi tawar petani yang lemah di hadapan perusahaan. Seringkali ditemukan kualitas buah sawit dari kebun petani ditentukan sepihak oleh perusahana begitupula harga pembelian buah.
Keempat, petani plasma tidak mengetahui perhitungan biaya produksi. Minimnya akses informasi menyebabkan perhitungan pendapatan panen menjadi tidak jelas.
Kelima, kurangnya perencanaan jangka panjang petani plasma. Petanitermasuk Koperasi tidak mendapatkan penyuluhan oleh perusahaan dalam hal pengelolaan kebun sawit supaya efektif. Sebagai contoh upaya peningkatan produktivitas tanaman dan pola penyisihan dana ( “sinking fund”) untuk program replanting .
Belajar dari kelemahan ini, maka konsep inti-plasma tidak perlu dilanjutkan. Sebab, inti-plasma membuat petani bergantung kepada perusahaan dan lemah posisi tawarnya. Persoalan lambatnya program replanting petani di era pemerintahan Jokowi akibat minimnya perusahaan yang siap mendukung pendanaan.
Solusi yang ditawarkan adalah membangun kemandirian petani dari aspek budidaya dan ekonomi melalui proses pelembagaan. Koperasi merupakan badan usaha yang tepat sebagai penanggung jawab kredit (credible). Pengembangan kebun sawit petani adalah mengelola kebun itu secara korporasi ( estate) dan bukan individu seperti bercocok tanam cabe atau hortikultura lainnya. Bentuk operasionalnya adalah Koperasi dikelola oleh para profesionalseperti halnya perusahaan Inti dan bila petani yang bernaung di dalam koperasi itu , maka mereka berkerja sebagai workers di perkebunan.
Penguatan kelembagaan seperti Kooperasi dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang berbadan hukum dapat menjalankan fungsi sebagai penyuluh dan memberdayakan petani sawit . Wadah koperasi dapat dikelola lebih professional sehingga menghindari kepentingan pribadi yang masuk di dalam koperasi. Syarat menjadi pengurus koperasi antara lain tidak punya kebun sawit.
Luas kebun sawit yang dikelola koperasi antara 1.200 -1.800 hektare atau setara 500 – 1.200 kepala keluarga untuk mencapai economic size. Para petani dapat ikut mengelola kebun secara langsung untuk pemeliharaan kebun dan pemanenan dibawah arahan dan instruksi dari pengurus Koperasi.
Hal penting lainnya menjadi persyaratan/kriteria, Anggota terikat perjanjian dengan Koperasi bahwa sertifikat lahan sawitnya akan/dapat dijadikansebagai jaminan untuk mendapatkan kredit perbankan,dan akan tetap dipegang oleh Koperasi , meskipun kredit /pinjaman sudah lunas. Ada tambahan perjanjian antara anggota dan Koperasi , bahwa lahan/sertifikat lahan tidak boleh diperjualbelikan dan tidak merubah fungsi pemanfaatan lahan kecuali hanya untuk perkebunan sawit.
Peran besar yang diberikan kepada koperasi ini akan memperkuat aspek kelembagaan ekonomi rakyat dan penguatan kapasitas mereka. Petani akan belajara bagaiamana caranya meningkatkan produktivitas tanaman, pengalokasian biaya perencanaan keuangannya. Untuk membuat Koperasi ini mandiri dan sukses, pemerintah bersama INSTIPER dapat menjalankan pilot project di beberapaKabupaten sebagai rujukan bagi petani lain. Selain Koperasi bertindak sebagai pengelola kebun sawit, badan ini juga dapat menjalankan unit simpan-pinjam , dimana anggota dapat memanfaatkannya untuk kebutuhan mendadak, sehingga mereka dibantu untuk terlepas dari praktek ijon yang berbunga tinggi dan sering menjadi jerat bagi para petani sawit kedalam jurang keterpurukan.
Arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) supaya petani terlembagakan dalam bentuk korporasi harus dijalankan secara konseptual . Dapat dimulai dari pembentukan koperasi di tingkat pedesaan untuk menjadi wadah mengasah insting dan membangun struktur organisasi perusahaan. Selain itu, petani dapat mulai berpikir menjadi entrepeneur berbasis sumberdaya alam lokal di wilayah masing-masing.
Apabila konsep inti-plasma tetap dipertahankan, sulit rasanya mewujudkan korporasi berbasis petani. Indonesia bisa belajar dari Malaysia yang sukses membangun perusahaan berbasis kepemilikan petani bernama FELDA. Perusahaan yang telah dibangun semenjak 30 tahun lalu sekaran telah menjadi pemain besar di industri sawit dunia. Indonesia bisa meniru Malaysia yang memberikan keleluasaan dan kemudahan bagi petani dalam membangun korporasi. Syaratnya satu yaitu berikan kepercayaan dan kesempatan kepada petani kita.
Penulis: Sahat Sinaga (Wakil Ketua DMSI)