petani sawit

Indonesia masih mendominasi produksi kelapa sawit. Sayangnya, meski sawit punya segudang potensi produk turunan, peran UNIKM dan koperasi masih belum maksimal. Kunci kemajuan komoditas kelapa sawit Indonesia ada pada perkembangan koperasi dan unit usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. Untuk itu, kolaborasi dalam mendukung pengembangan mereka perlu diperbanyak dan ditingkatkan. Hal itu terungkap dari Workshop Jurnalis Promosi UKM Sawit yang digelar oleh majalah Sawit Indonesia di Tangerang Selatan, Banten, pada Kamis (23/10/2025). Hadir sebagai pembicara adalah Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia Sahat Sinaga, Asisten Deputi Produksi dan Digitalisasi Usaha Menengah Kementerian UMKM Metty Kusma-yantie, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangerang Selatan Bachtiar Priyambodo, Media Relations Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mochamad Husni, dan Kepala Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian dan Pangan Asia Tenggara (SEAFAST Center) IPB University Puspo Edi Giriwono. Acara tahunan bertajuk Kolaborasi Media dan Pelaku UKM Sawit untuk Indonesia Emas 2045 itu dipandu Head of Editorial Collaboration Harian Kompas Hamzirwan Hamid sebagai moderator. Sawit disebut-sebut sebagai komoditas “ajaib” bukan tanpa alasan. Komoditas itu memiliki daya guna ekonomi, sosial, dan ekologis yang sangat besar dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya, dengan catatan dikelola dengan bijak. Puspo Edi Giriwono sepakat dengan hal itu. Ia bahkan menambahkan, jika dibandingkan dengan komoditas minyak nabati lain, sawit lebih efisien. Untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati, tanaman kedelai memerlukan 2 hektar (ha) lahan, tanaman bunga matahari memerlukan 1,43 ha, sedangkan kelapa sawit hanya membutuhkan 0,26 ha lahan. Selain itu, produk turunan sawit berkembang ke banyak sektor, mulai pangan hingga nonpangan. Puspo hanya menyebut beberapa contoh produk nonpangan, seperti biodiesel, bahan kimia industri, kemasan plastik, tinta, pelumas otomotif, detergen, avtur, dan oleoresin. Sementara produk makanan bisa dijumpai di toko-toko kelontong dan bahkan salah satu perusahaan pengolah minyak sawit asal Indonesia menyuplai 14 persen kebutuhan lemak nabati dunia dengan total produksi sebanyak 12 juta ton per tahun. “Kini penelitian juga menunjukkan minyak nabati sawit, khususnya sawit merah, bisa digunakan untuk mencegah gizi buruk hingga tengkes. Ada kandungan vitamin E yang baik untuk tubuh, tentunya harus ada proses pengolahannya,” katanya. Pada Juni 2025, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) meluncurkan Katalog 100 Produk UMKM Kelapa Sawit, yang merupakan edisi kedua sebagai pengembangan dan penyempurnaan dari edisi pertama yang telah diluncurkan pada 2023. Dalam katalog edisi kedua itu, BPDP menambahi produk-produk UMKM sawit baru yang diproduksi sepanjang tahun 2024-2025. Katalog ini memuat 100 produk unggulan dari UMKM dan koperasi petani sawit di sejumlah daerah yang mencerminkan potensi luar biasa dari pemanfaatan komoditas sawit secara menyeluruh, mulai dari minyak sawit berkelanjutan, produk turunan bernilai ekonomi tinggi, hingga olahan limbah, seperti kerajinan, personal care, dan pupuk organik. Katalog ini menunjukkan pemanfaatan kelapa sawit untuk produk pangan, wastra, knya, perawatan tubuh, kosmetik, dan produk organik yang dapat diproduksi pada skala UMKM dan koperasi. “Saya masih menemukan produk minyak nabati yang diolah dan dijual oleh negara lain dengan harga mahal dan masuk pasar Indonesia. Ini ironis di tengah melimpahnya bahan baku minyak sawit di Indonesia. Dan, itu dilakukan oleh UMKM luar negeri, seharusnya Indonesia bisa lebih baik,” ujar Puspo.

Manfaat bagi petani

Hal serupa juga disampaikan Sahat Sinaga Menurut dia, kemajuan komoditas kelapa sawit ada pada UMKM dan koperasi yang tumbuh di daerah-daerah, bahkan perdesaan. Lewat UMKM dan koperasi, keuntungan sawit dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya para petani sawit. Walau demikian, masih banyak koperasi sawit di Indonesia dikelola oleh petani sehingga terbentur banyak masalah. Koperasi perlu dikelola oleh orang profesional sehingga petani bisa merasakan keuntungannya langsung dan fokus pada pengelolaan kebun. “Kita perlu belajar duri Afrika, negara tempat sawit berasal. Mereka punya tanamannya dan lahan luas, tetapi sawitnya tidak maju karena dikelola langsung oleh para petani, ditambah lagi perang saudara. Indonesia lebih baik dari itu, tetapi harus bisa lebih baik dari yang ada sekarang,” tutur Sahat Ia menambahkan, UMKM memerlukan pendampingan, ketersediaan bahan baku, regulasi yang tidak menyulitkan, dan teknologi. Untuk itu, kolaborasi menjadi kunci penting untuk kemajuan UMKM dan koperasi, terutama yang mengolah produk turunan sawit Indonesia memang penguasa sawit global. Menurut data Council of Palm Oil Producing Countries, total produksi minyak sawit mentah (CPO) sepanjang tahun 2024 mencapai 48.164.000 ton, sedangkan total produksi palm kernel oil (PKO) sebesar 4.598.000 ton. Secara keseluruhan, total produksi CPO dan PKO selama 2024 mencapai 52.762.000 ton atau turun 3,80 persen dibandingkan dengan produksi 2023 sebanyak 54.844.000 ton. Meskipun produksi turan, Indonesia masih merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Sahat menambahkan, dari total 16,8 juta ha lahan kebun kelapa sawit di Indonesia, 40 persen dikelola oleh petani sawit atau smallholders. Artinya, ada 6,72 juta ha kebun sawit yang dikelola petani. Dengan asumsi luas lahan sawit rakyat 6,72 juta ha dan rata-rata pendapatan per hektar per tahun Rp 24 juta, maka setidaknya petani sawit menghasilkan Rp 168 triliun per tahun. Itu baru dari menjual tandan buah segar saja, belum dikelola lagi menjadi berbagai produk. “Kunci kemajuan sawit ada pada UMKM dan koperasi. Sudah saatnya mereka menjadi subyek, bukan lagi obyek,” ungkap Sahat Kondisi saat ini, melihat data Gapki, dalam lima tahun terakhir produksi kelapa sawit Indonesia masih\’stagnan. Banyak faktor memengaruhi hal itu. Salah satunya peremajaan -sawit rakyat. Peremajaan sawit rakyat juga terkendala status lahan karena masih banyak kebun masyarakat yang masuk kawasan \’ hutan. “Dengan adanya Satgas PKH (Penertiban Kawasan Hutan), sawit sedang dibenahi. Kita perlu mendukung itu karena selama ini amburadul,” katanya.

Regulasi

Beberapa UMKM di Indonesia, terutama yang mengolah produk turunan sawit di bidang pangan, punya banyak kesulitan. Salah satunya regulasi dan birokrasi yang berlapis-lapis. Melihat hal itu. Asisten Deputi Produksi dan Digitalisasi Usaha Menengah Kementerian UMKM Metty Kusmayantie menjelaskan, pemerintah perlu memastikan produk pangan itu aman dikonsumsi secara massal. Untuk itu, perlu dilakukan beberapa tes dan sertifikasi. Hal itu wajib dilakukan untuk memastikan produk aman dikonsumsi, apalagi produk makanan. “Ada beberapa program pemerintah yang bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat Di Kementerian UMKM, kami membantu UMKM untuk memiliki sertifikasi halal, baik self-declare maupun yang reguler.” kata Metty. Sementara itu, perusahaan sawitjuga berupaya mendorong masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan untuk mulai melirik bisnis produk turunan kelapa sawit. Media Relations Gapki Mochamad Husni menyampaikan, perusahaan mendorong kesadaran masyarakat terutama para petani kelapa sawit, untuk mulai melirik pengolahan produk turunan sawit Sayangnya, belum semua petani sawit mau melakukannya “Saya bisa ajak teman-teman media berkeliling ke sekitar kebun dan bertanya langsung kepada para petani, mereka maunya menjual tandan buah segar begitu saja” ujar Husni. Meskipun demikian, tak sedikit yang mulai melirik berbagai produk turunan kelapa sawit dan mengolahnya menjadi industri rumahan. “Peran media juga penting untuk menyebarkan informasi ini ke masyarakat, terutama para petani sawit, agar mereka juga bergerak.” Katanya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *