Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menyerap usulan dan solusi petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia ( APKASINDO). Salah satunya adalah membuat konsep satu harga TBS se-Indonesia untuk menyelesaikan persoalan anjloknya harga sawit petani.

Hal ini disampaikan Rino Afrino, Sekjen APKASINDO dan Gulat Manurung, Ketua DPW APKASINDO Riau Rino yang mendapatkan waktu khusus bertemu Menko Luhut di sela acara kenegaraan di Riau, Rabu (16 Januari 2019).

Dalam pertemuan tersebut, Menko Luhut menyampaikan komoditas sawit Indonesia semakin strategis ke depannya karena mampu mengolah CPO menjadi minyak biosolar dengan persentase lebih tinggi. Program ini menjadikan Indonesia harus berdaulat.

“Menko Luhut mengharapkan APKASINDO berada di garda terdepan demi kemakmuran petani sawit dimama 42% kebun sawit di Indonesia dalam pengelolaan petani,” cerita Gulat.

Persoalan lain yang dibicarakan mengenai percepatan pelepasan kebun sawit masyarakat yang terjebak dalam kawasan hutan.

Guna menyelesaikan masalah harga, APKASINDO meminta dukungan pemerintah dalam upaya pendirian pabrik sawit petani untuk menghasilkan minyak sawit sampai minyak goreng pada tahap awal.

Langkah ini perlu dilakukan karena kepemilikan lahan petani sawit mencapai 42% di seluruh Indonesia Hal ini mengakibatkan hargaTBS akan berdampak langsung ke petani dan efeknya kepada ekonomi secara menyeluruh.

Dalam waktu 10 tahun mendatang, industri CPO bukan lagi menjadi milik pengusaha lagi melainkan home industry. Perkiraan ini ternyata lebih cepat dari dugaan saya dr karena tidak lepas dari keterpurukan harga TBS hampir 1 tahun melanda petani yg sehingga muncul kreativitas Petani. Ini terbukti dari pendirian pabrik sawit mini berkapasitas 1 Ton/jam.

“Hanya perlu polesan teknologi dan modal utk mendorong usaha home industry ini. Indikator sedehana sata harga TBS di bawah Rp 1000 per kilogram tetapi produk olahan sawit seperti minyak goreng dan mentega tetap tinggi di pasaran. Ini tidak adil bagi petani sebagai produsen TBS, ” ujar Gulat.

Karena itu, ada keanehan dalam penentuan harga TBS bukan button up tapi top down.

Artinya harga TBS bukan dihitung sebagai belanja modal untuk menghasilkan satu kilogram TBS petani sebagaimana terjadi selama ini di harga lelang CPO.

“Kalau konsep button up ini digunakan maka sesuka hati pasar yang menentukan harga TBS. Sudah saatnya tataniaga menjadi perhatian serius semua pihak,” pungkas Gulat.

Sumber: Sawitindonesia.com