Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengaku kecewa dengan keputusan pemerintah yang menghapus sementara tarif pungutan ekspor (PE) hingga nol dolar AS atas produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya. Alasannya, kebijakan itu bertentangan dengan semangat hilirisasi yang selama ini terus menerus digaungkan pemerintah.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mempertanyakan dan mengkritik keputusan pemerintah yang menghapus sementara PE atas CPO dan turunannya. Keputusan itu juga jauh dari usulan GIMNI. Sebelumnya, GIMNI juga mengajukan pemangkasan besaran pungutan, penurunan tarif pungutan diusulkan untuk produk RBD olein (bulk) dan minyak goreng kemasan kurang dari 25 kilogram (kg) masing-masing dari US$ 30 per ton ke US$ 20 per ton dan US$ 20 per ton ke US$ 2 per ton. “Dengan kebijakan yang disampaikan pemerintah bahwa PE atas produk sawit menjadi nol, ada kekecewaan bagi investor di industri hilir, kelihatannya ada perubahan kebijakan dari hilirisasi menjadi hulunisasi,” kata Sahat di Jakarta, Selasa (27/11).
Sahat menjelaskan, bukanlah tanpa alasan apabila GIMNI mengusulkan agar penurunan PE diberlakukan pada produk hilir saja. Pelaku usaha hilir nasional ingin bisa mengembangkan pasar ekspor ke Afrika Timur. “Pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa dana pungutan atas semua produk sawit, kecuali fatty acid methyl esters (TAME), dikenakan nol dengan maksud agar harga tandan buah segara (TBS) petani bisa meningkat. Apakah sudah ada konsultasi dengan industri? Selama ini yang GIMNI usulkan kepada pemerintah untuk meningkatkan volume ekspor adalah agar besar dana pungutan atas produk hilir sawit yang diturunkan,” kata Sahat.
Sahat juga mengatakan, pemerintah mencanangkan hilirisasi industri sawit pada akhir 2011 melalui PMK No 128 Tahun 201 lyang mengatur pengenaan bea keluar (BK/pajak ekspor) atas produk hulu dengan tarif tinggi. Besaran pajak yang dikenakan atas produk sawit hulu selisih 7,50-8% lebih tinggi dari produk hilir. Karena insentif itulah, investasi industri hilir sawit, khususnya refinery/iraksionasi, oleokimia, dan biodiesel meningkat pesat sepanjang 2012-2015. “Tapi dengan kebijakan yang disampaikan pemerintah bahwa PE atas produk sawit menjadi nol, kelihatannya ada perubahan kebijakan menjadi hulunisasi. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah harga TBS akan meningkat atau volume ekspor meningkat dengan kebijakan ini?” kata Sahat.
Di sisi lain, dia menambahkan, pasar luar negeri telah lama menikmati produk turunan sawit, karena dengan mengimpor produk hilir sawit akan lebih ekonomis dan murah daripada mengolah CPO dan minyak kernel (CPKO) sendiri. “Maka, pasar CPO dan CPKO dengan tujuan ekspor akan menjadi sangat terbatas. Menurut kami, industri hilir sawit dan sebagian besar eksportir produk sawit, harga TBS ataupun CPO justru akan melemah. Karena dari sisi hukum ekonomi, suplai melimpah dan permintaan akan berkurang,” kata Sahat.
Dengan kebijakan pemerintah yang baru diumumkan tersebut, lanjut Sahat, industri dalam negeri baik refinery/frak sionasi, oleokimia, dan speciality fat juga akan mengalami kelesuan ekspor. Sebab, insentif buat industri tersebut berkurang, bahkan dalam posisi loss bila berproduksi, kecuali untuk memenuhi pasar dalam negeri. Artinya, daya serap TBS maupun CPO juga berkurang. “Akan terjadi anomali, kenyataan cenderung berbalik, semoga prediksi saya ini keliru. Bisa kita lihat di lapangan, ekspor sawit Desember ini akan turun drastis. Sebab, banyak yang akan membatalkan order sawit dari Indonesia. Pasar luar negeri meperkira-kan harga akan menurun, jadi merugi bila melanjutkan pesanan sebelumnya (cut loss) ,” kata Sahat. Saat ini, harga CPO FOB Dumai maupun Belawan berkisar US$ 420 per ton dan pada Desember kemungkinan semakin merosot
Mengacu pada lembar Lampiran pada PMK No 30 Tahun 2016 tentang Perubahan PMK No 133 Tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum (BLU) BPDP KS, besaran pungutan atas ekspor sawit dan turunannya ditetapkam bervariasi. Yakni, antara nol untuk tandan buah segar (TBS) sampai US$ 50 per ton untuk CPO, crude palm kernel oil (CPKO), crude palm olein, crude palm stearin, crude palm kernel olein, dan crude palm kernel stearin. Sedangkan untuk olahan berupa fatty acid, RBD olein, hingga biodiesel dikenakan pungutan ekspor US$ 20-30 per ton.
Pada Senin (26/11), Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah akan menolkan sementara pungutan ekspor saat harga CPO anjlok di bawah US$ 500 per ton, yakni atas CPO yang sebelumnya US$ 50 per ton, turunan I yang sebelumnya US$ 30 per ton, dan turunan II yang sebelumnya US$ 20 per ton. Pungutan akan dikenakan kembali secara bertahap, yakni menjadi masing-masing US$ 25 per ton, US$ 10 per ton, dan US$ 5 per ton, ketika harga CPO tembus US$ 500-549 per ton. Pungutan kembali ke level semula ketika harga CPO bergerak naik di atas US$ 549 per ton. Ketentuan tersebut akan berlaku ketika PMK perubahan tarif diterbitkan.
Dana pungutan ekspor tersebut selama ini dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS). Dana itu digunakan untuk berbagai program pengembangan dan pembangunan subsektor sawit di dalam negeri, di antaranya peremajaan kebun sawit rakyat, promosi, dan penggunaan wajib biodiesel (B20).
Sumber: Investor Daily Indonesia