Dalam 5 tahun mendatang, kontribusi sawit terhadap perekonomian nasional bakal meningkat berkali-kali lipat lewat hilirisasi. Dengan pembenahan serius dari hulu-hilir sawit seperti percepatan replanting, penggunaan teknologi terbaru, hingga pembenahan regulasi yang diatur oleh satu badan sawit, bisnis ini diperkirakan bisa mencapai USD107,02 miliar atau sekitar Rp15.000 triliun pada tahun 2028.

Pernyataan ini disampaikan Plt. Ketua Umum DMSI (Dewan Minyak Sawit Indonesia) Sahat Sinaga dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertemakan “Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia” yang diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia pada 31 Januari – 2  Februari 2024 di Bandung, Jawa Barat. Kegiatan ini didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan jumlah peserta 30 jurnalis dari media cetak dan online.

Dalam paparannya, Plt Ketum DMSI Sahat Sinaga memaparkan mengenai kesalah pahaman soal sawit yang hanya diperuntukkan untuk minyak goreng. Padahal, ujar dia, saat sawit dijadikan minyak goreng otomatis kandungan vitaminnya akan hilang karena suhu panas.

Padahal, sawit mengandung kadar β-carotene serta tokoferol dan tocotrienol yang relatif tinggi. β-carotene merupakan sumber vitamin A dan antioksidan sedangkan tokoferol dan tocotrienol yang merupakan salah satu golongan vitamin E yang berasal dari tumbuhan yang juga dapat berperan sebagai anti oksidan.

“Sawit menghasilkan vitamin A yang 15 kali dari wortel dan vitamin E yang 20 kali dari minyak olive. Minyak zaitun hanya mengandung vitamin E sebesar 51 ppm, sementara kandungan vitamin E minyak sawit jauh lebih tinggi yakni 1172 ppm. Padahal, harga olive oil jauh lebih mahal dibanding sawit,” jelas Sahat.

Sahat juga menambahkan, yang tidak banyak diketahui soal sawit yakni komoditi ini merupakan satu satunya jenis vegetable oil yang mirip dengan kandungan air susu ibu. Dengan  C18, Octadecenoic Acids yang mencapai 36,3 persen.

Sahat menyampaikan, hilirisasi sawit dengan teknologi yang ada saat ini nilai usahanya di tahun 2023 sudah mencapai USD 62,9 miliar. Angka tersebut berasal dari hasil ekspor sebesar USD 38,4 miliar, domestik USD 21,4 miliar dan biomassa USD 3,1 miliar.

“Hilirisasi Industri Sawit dengan jumlah jenis produk sebanyak 54 jenis di tahun 2007 meningkat ke 179 jenis di tahun 2023, dan kesempatan masih terbuka luas untuk dikembangkan agar meningkatkan revenue sawit kita,” ujar Sahat.

Meski cukup mengalami peningkatan, dia menyebut hilirisasi industri sawit Indonesia masih kalah dengan Malaysia. Sebab negara tetangga sudah mempunyai sekitar 260 produk turunan sawit. Padahal, Malayasia hanya mempunyai 5 juta hektar lahan, jauh di bawah Indonesia yang mencapai sekitar 16,8 juta hektare.

“Mereka bisa menghasilkan tokotrienol dari sawit. Tokotreanol 1 kg 800 dolar loh. Kenapa banyak? Karena pengusaha aman disana. Engga tiba-tiba pengusaha didatangi kesatuan pemuda setempat, regulasi berubah-ubah. Di Indonesia besar potensinya, tapi pelaku usaha takut,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Sahat menekankan perlunya satu badan khusus agar laju industri sawit bisa berjalan optimal. Agar tumpang tindih regulasi yang menghambat industrii di sektor sawit, bisa diselesaikan.

“Agar kondusif jangan Kementerian-kementerian banyak cawe-cawe ke sawit. Kementerian lain hanya supporting. Ada satu badan jadinya,” ungkap Sahat.

Dia mengungkapkan jika inovasi proses pengolahan produk sawit diperbaharui, maka total bisnis sawit di tahun 2028 bisa mencapai USD 107,02 Milyar USD atau pertumbuhan usaha di bidang Industri Sawit bisa tumbuh sebanyak 70,1 persen.

“Kuncinya adalah mereplanting 485.000 ha per tahun. Petani itu harus dibina, jangan dibinasakan. Maka perlu dibantu. Lalu manfaatkan biomass. Per satu ton sawit, bisa 8-9 ton biomass. Rapeseed 1 ton biomass. Kita punya banyak tapi tidak termanfaatkan,” jelas Sahat yang juga Direktur Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) itu.

Strategi berikutnya dikatakan Sahat, meminimalisir wewenang kementerian/lembaga yang mengatur industriminyaksawit sehingga banyak aturan yang tumpang tindih. Bahkan, ada banyak instansi di daerah yang ikut campur hingga membuat ikliminvestasi menjadi tidak kondisif. Pelaksanaan produksi pun menjadi tidak optimal.

“Oleh sebab itu, kita perlu satu badan khusus saja agar laju industri sawit berjalan optimal. Jangan Kementerian-kementerian banyak cawe-cawe ke sawit. Cukup satu badan saja. Kementerian lain hanya mendukung. Kami ingin tumpang tindih regulasi yang menghambat industri di sektor sawit bisa diselesaikan,” ujar lulusan ITB Teknik Kimia ini.

Menurut Sahat, jika badan pengelola industri sawit ini sudah berjalan dan konsisten, maka bukan mungkin produk turunan sawit di Indonesia mengalahkan Malaysia.

(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 148)

sumber: https://sawitindonesia.com/nilai-bisnis-produk-hilir-sawit-dapat-mencapai-rp-15-000-triliun/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *