Kawasan Timur Ifengah dan Afrika dinilai bisa menjadi pasar baru bagi produk sawit Indonesia dan turunannya dengan potensi mencapai lebih dari 1 juta ton.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sarjono mengatakan kendati bisa menjadi pasar baru yang prospektif, kedua lokasi ini juga memiliki tantangannya masing-masing.
“Afrika itu agak berbeda dari negara lain karena mereka umumnya butuh sudah dalam bentuk kemasan. Makanya, kita ekspor minyak goreng,” ujar Mukti, Selasa (9/7).
Hal ini, katanya, lantaran Afrika tidak memiliki tangki timbun yang memadai untuk menyimpan produk jika diekspor dalam bentuk bahan baku atau CPO. Untuk itu, mereka membutuhkan produk yang memang sudah jadi dan siap pakai.
Namun, kata Mukti, bea ekspor yang dikenakan untuk produk minyak goreng ini masih tinggi sehingga dibutuhkan kemudahan atau kelonggaran dari pemerintah.
Adapun untuk Turki, menurutnya, diplomasi atau atau penjajakan kerja sama bilateral menjadi hal yang diperlukan. Untuk itu, free trade agreement (FTA/perjanjian perdagangan bebas) dengan negara-negara yang ada di wilayah ini dipandang bisa menjadi salah satu solusi.
“itu sebenarnya masalah bagaimana kita bisa lakukan kerja sama bilateral.”
Sementara itu. Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mendukung diberlakukannya pungutan ekspor terhadap CPO. Pasalnya, peniadaan pungutan ekspor sejauh ini ndak berdampak signifikan terhadap pergerakan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.
“Faktanya, November 2018 sampai hari ini [harga TBS] turun terus dari Rp2.100 per kg pas pertengahan tahun lalu. Begitu dicabut potongan ekspor, naik sedikit dan turun lagi sampai sekarang. Artinya enggak pengaruh,” kata Gulat, Selasa (9/7).
Di sisi lain, dia percaya bahwa pemberlakuan kembali pungutan ekspor bisa membantu memperkuat harga sawit dalam jangka panjang dan mendukung berkembangnya industri tengah dan hilir sawit di dalam negeri.
Sumber: Bisnis Indonesia