Memang sudah sewajarnya suatu negara membela atau menjaga komoditas andalan, termasuk diantaranya kelapa sawit yang sudah terbukti memberikan kontribusi pendapatan negara yang tidak sedikit.
Benar, tidak sedikit negara yang merasa iri karena, tidak sedikit komoditas asal Indonesia yang mempengaruhi industri luar negeri. Bahkan komoditas asal Indonesia bisa berpotensi mengancam komoditas di negara tersebut, salah satu diantaranya adalah komoditas perkebunan dalam hal ini kelapa sawit.
Atas dasar itulah, Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) meminta stop diskriminasi terhadap Komoditas kelapa sawit.
“Resolusi Parlemen Uni Eropa dan sejumlah negara Eropa mengenai kelapa sawit dan deforestasi serta berbagai kampanye hitam, tidak saja merugikan kepentingan ekonomi, namun juga merusak citra negara produsen sawit,” kata Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Philippine International Convention Center (PICC), Manila, Filipina.
Sebab, menambahkan Jokowi, kelapa sawit sangat dekat dengan upaya pengentasan kemiskinan, mempersempit gap pembangunan, serta pembangunan ekonomi yang inklusif. Bahkan saat ini terdapat 17 juta orang Indonesia yang hidupnya, baik langsung maupun tidak langsung, terkait dengan kelapa sawit, di mana 42 persen lahan perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil.
Oleh karena itu, dalam pidatonya Presiden Jokowi meminta agar diskriminasi terhadap kelapa sawit di Uni Eropa segera dihentikan. Sejumlah sikap dan kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan ekonomi dan merusak citra negara produsen sawit juga harus dihilangkan.
Disisi lain Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa Indonesia sangat paham pentingnya isu sustainability (Keberlanjutan). “Oleh karena itu, berbagai kebijakan terkait sustainability telah diambil, termasuk pemberlakuan sertifikat Indonesian Sustainablepalm oil(ISPO),”ucap Presiden Jokowi.
Hal senada diungkapkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito bahwa pihaknya akan mendukung industrialisasi kelapa sawit. Bahkan, dalam menghadapi persaingan dagang minyak nabati global.
“Eropa ganggu palm oil, kita bisa ganggu susu bubuk.” tegas Enggartiasto dalam acara 13th Indonesian palm oil Conference (IPOC) 2017 yang mengangkat tema “Growth through Productivity Partnership with Smallholders”.
Lebih lanjut, Enggartiasto menyangsikan kekuatan Eropa bila menghadapi perlawanan Indonesia dalam hal perdagangan global. Hal ini karena kebutuhan akan minyak nabati semakin tinggi, dan hanya kelapa sawit yang bisa mengisi tingginya permintaan. “Apa jadinya mereka jika kita tak ekspor sawit,” tegas Enggartiasto.
Disisi lain, Enggartiasto menjelaskan, hanya kelapa sawitlah yang taat aturan dan memiliki sertifikat sustainable. Terbukti, berdasarkan catatan Komisi Indonesian Sustainable palm oil (ISPO) jumlah pelaku usaha yang menerima sertifikat ISPO terus bertambah yaitu mencapai 306 pelaku usaha dengan luas total 1.882.075,85 hektar dengan total produksi Crude palm oil(CPO) 8.147.013,63 ton. Ini artinya jumlah kepedulian pelaku usaha terkait pentingnya menerapkan sustainable semakin tinggi.
“Jadi kelapa sawit di Indonesia paling taat aturan. Bahkan kelapasawitjuga telah berkembang dari skala kecil menjadi komoditas paling berkontribusi pada perekonomian Indonesia,” papar Enggartiasto.
Besarnya kontribusi kelapa sawit pada perekonomian, Enggartiasto mengatakan, dapat dilihat dari fakta-fakta bahwa kelapa sawit merupakan sumber pendapatan ekspor terbesar di Indonesia, yang kini mencapai USS 15 juta per Agustus 2017. Demikian juga dengan kontribusi sawit terhadap pembukaan lapangan pekerjaan.
Melihat hal ini maka sudah sewajarnya jika semua pihak memperkuat kolaborasi dan menghadapi kampanye negatif. Pemerintah pun, akan terus melakukan mediasi dengan negara-negara lain agar kelapa sawit dapat diterima dan diperlakukan secara adil di pasar internasional. Diantaranya yaitu dengan melakukan langkah guna membangun kelapa sawit berkelanjutan melalui penguatan ISPO.
“Maka yang kita butuhkan adalah kolaborasi kuat di antara berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi isu-isu seputar kelapa sawit,” ujar Enggar.
Mendengar hal tersebut, menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha KelapasawitIndonesia (GAPKI), Joko Supriyono, Presiden Jokowi memang sangat memahami komoditas kelapa sawit yang saat ini sebagai penyumbang devisa negara dengan nilai devisa di atas Rp 200 triliun.
“Bahkan kelapa sawit telah membuktikannya sebagai komoditas yang mampu berperan untuk pengentasan kemiskinan dan pembangunan daerah pinggiran,” tutur Joko.
Tidak hanya itu, Joko membenarkan bahwa ditingkat global pun kelapa sawit Indonesia berhasil menguasai pangsa pasar dunia.Tampil sebagai nomor satu, tetapi terus mendapat hambatan perdagangan yang tidak fair (adil) dan diskriminatif dari Eropa dan Amerika Serikat. Artinya diskriminasi ini hanyalah sebagai persaingan bisnis.
“Jadi sudah tepatlah Presiden membela kepentingan nasional terhadap komoditas unggulan ekspor Indonesia ini,” pungkas Joko.
Sumber: Mediaperkebunan