Kalangan akademis dan pelaku industri meminta pemerintah menerapkan standar bahan bakar nabati (BBN) karena terdapat perbedaan Fame dengan Biohidrokarbon dalam kelompok bahan bakar nabati.

Jika sudah diterapkan standarnya, maka pelaku industri, masyarakat dan pemerintah mempunyai persepsi sama terhadap program penggunaan dan pengembangan energi terbarukan yang berasal dari bahan baku nabati secara keseluruhan.

Pakar Sawit Nasional yang juga Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Sahat Sinaga mengatakan, saat ini pelaku industri banyak yang tidak mengerti atau salah tangkap mengenai bahan bakar nabati karena belum ada standar yang jelas.

Padahal Fame yang dicampurkan ke dalam solar memiliki keterbatasan dari standar volume dimana Fame dengan kualitas yang sekarang ini maksimal pencampurannya sampai 30%.

Kebijakan B30 dan B50 berarti pemakaian Fame sebesar 30% ataupun 50% yang akan dicampurkan ke dalam solar padahal kandungan Fame di atas B30 mesti melewati tahapan proses pencampuran tepat waktu.

“Di sinilah perlunya pemerintah membuat standar serta definisi yang dimengerti masyarakat luas,” ujar dia di Jakarta, Senin (16/3).

Ketua Dewan Pengawas Masyarakat Biohidrokarbon Tatang Hernas mengatakan pemangku kepentingan sebaiknya dapat memahami perbedaan antara Fame dengan Biohidrokarbon.

Fame atau yang dikenal sebagai biodiesel termasuk dalam kategori oksigenat yang dicampurkan dengan presentasi terbatas mulai dari B10 sampai maksimal B30.

Berbeda dengan biohidrokarbon yang bersifat sebagai jembatan sehingga dapat dicampur dengan jumlah presentase bebas, contohnya produk biohidrokarbon seperti diesel.

Saat ini teknologi konversi minyak lemak nabati menjadi bahan bakar nabati biohidrokarbon sedang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi seperti ITB. Standar bahan bakar nabati perlu ditetapkan untuk memberikan pemahaman kepada pelaku industri dan mencegah terjadinya pro dan kontra.

Sumber: Investor.id