Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) menginginkan agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada pasar ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), apalagi menjualnya dengan harga yang tinggi.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga mengatakan industri minyak sawit nasional terlalu bergantung pada beberapa pemain ekspor. Akibatnya, ketika para pemain mengalami kesulitan efeknya langsung bersifat domino ke petani. Maka dari itu, menurutnya, akan lebih baik pasar domestik minyak sawit ditingkatkan secara intensif.

“Sekarang tingkat konsumsi dalam negeri, pasar kita hanya 22% domestik dan 78% ekspor. Itu harus diputar. Setidaknya 60% domestik dan 40% ekspor. Kalau itu terjadi, kita akan jadi the lead in the world. Kita yang tentukan harga, kita yang atur harga, bukan Malaysia atau Rotterdam,” tegasnya pada Rabu (6/3/2019).

Akan tetapi menurutnya banyak orang keliru karena menginginkan harga yang tinggi bagi minyak sawit. Padahal, lanjut Sahad, harga yang tinggi belum tentu akan membantu petani.

Pasalnya, kalau harga ditetapkan tinggi ada kemungkinan pasar internasional lebih memilih komoditas minyak nabati lainnya seperti rapeseed atau biji bunga matahari.

“Kalau harga sama, mengapa harus milih sawit. Kita sekarang unggul karena lebih murah, tapi sayangnya pemrintah tidak sadar akan hal ini,” tegasnya.

Menurutnya yang lebih terpenting adalah produktivitas lahan dan biaya produksinya, agar bisa mengambil margin yang lebih besar daripada harus menggantungkan kepada harga internasional.

“Kalau cuma 10 ton/ha/tahun, ya mending tanam singkong aja seperti kata presiden. Kita sudah dikasih lahan oleh negara, kalau tidak produktif ya dosa,” katanya.

Oleh sebab itu, Sahat menyimpulkan peremajaan kebun adalah harga mati. Sampai dengan 2025, 70% dari total kebun sawit rakyat seluas 5,8 juta hektare harus diremajakan. Adapun potensi produksi yang bisa dicapai 25 ton/ha/tahun.

Sumber: Bisnis.com