JAKARTA – Ekspor minyak sawit Indonesia sepanjang 2020 diperkirakan lebih rendah dari 2019 karena turunnya permintaan sebagai dampak pandemi global Covid-19. Ekspor akan membaik pada 2021 seiring pulihnya ekonomi usai pandemi, yang mendorong konsumsi minyak nabati global termasuk minyak sawit.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki), ekspor minyak sawit nasional sepanjang 2019 mencapai 36,17 juta ton senilai US$ 19 miliar. Sedangkan pada triwulan 1-2020 volume ekspor komoditas tersebut mencapai 7,64 juta ton atau turun 16,50% dari periode sama 2019 yang sebesar9,09 juta ton, secara nilai ekspor pada Januari-Maret 2020 tersebut mencapai US$ 5,32 miliar atau meningkat 9,45% dari periode sama 2019.
Sementara dalam publikasi Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pada 12 Mei 2020, ekspor minyak sawit RI pada 2020 (Oktober 2019-September 2020) yang semula diproyeksikan mencapai 29,11 juta ton direvisi menjadi 27,50 juta ton karena dinamika perdagangan yang terjadi dan turunnya permintaan akibat pandemi Covid-19. Angka 27,50 juta ton itu turun 2,75% dari realisasi 2019 (Oktober 2018-September 2019) yang mencapai 28,28 juta ton. Lalu, pada 2021 (Oktober 2020-September 2021) ekspor minyak sawit Indonesia diperkirakan membaik menjadi 28,75 juta ton.
Ketua Bidang Luar Negeri Gapki Fadhil Hasan menuturkan, volume ekspor minyak sawit nasional tahun ini kemungkinan besar turun dari realisasi 2019, namun penurunannya masih di bawah 10%. Dari sisi nilai pun demikian, mengingat rata-rata harga minyak sawit mentah {crude palm oil/CPO) di pasar internasional tahun ini tidak akan terlalu jauh dari 2019. Kinerja ekspor diharapkan mulai membaik pada 2021 seiring meredanya dampak Covid-19 terhadap perekonomian global. “Pemulihan ekonomi yang berdampak pada kenaikan permintaan minyak sawit tergantung upaya negara-negara melawan Covid-19, harapannya 2021 membaik. Untuk tahun ini, volume ekspor nasional kemungkinan besar turun, juga nilai ekspornya karena harga tidak beda jauh dengan tahun lalu,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (27/5).
Namun demikian, Fadhil masih optimistis devisa ekspor minyak sawit tetap menjadi penolong neraca perdagangan nasional tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dilihat dari realisasi devisa ekspor sawit triwulan 1-2020 yang masih jadi penopang neraca perdagangan, sampai April masih terlihat bahwa industri sawit tetap tumbuh lebih baik daripada industri lainnya. “Meskipun ada pandemi Covid-19, industri sawit relatif berjalan normal, mungkin salah satu komoditas yang relatif kecil ter-dampak Covid-19. Jadi, sawit masih akan menjadi penolong neraca perdagangan kita untuk tahun ini,” jelas Fadhil.
Sementara itu, Sekjen Gapki Kanya Lakshmi mengatakan, pandemi Covid-19 memang mempengaruhi industri nasional termasuk industri sawit, hanya saja industri sawit masih bisa bertahan dan tetap beroperasi. Skenario terburuk dari pandemi Covid-19 adalah ekspor minyak sawit tahun ini sedikit melemah karena banyak negara yang melakukan lockdown sehingga pintu akses ditutup. “Ekspor melemah, harapan kami musibah ini bisa segera berakhir dan perekonomian kembali bangkit,” kata dia. Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menambahkan, Covid-19 telah menganggu perekonomian dunia tetapi semua negara dipastikan tidak akan sanggup berlama-lama dalam situasi terpuruk sehingga harus segera bangkit. Peneliti senior di Pusat Penelitian kelapa sawit (PPKS) Hasril Hasan Siregar juga meyakini ekspor minyak sawit nasional dari sisi volume maupun nilai baru membaik pada 2021, saat itu dampak pandemi Covid-19 diharapkan sudah mereda di semua belahan dunia. “Ekspor minyak sawit tahun ini memang dibayangi ketidakpastian karena Covid-19 yang mendunia berdampak pada negara-negara tujuan ekspor Indonesia, diproyeksikan lebih rendah dari 2019 saya kira iya namun berapa rendahnya sulit dijawab karena ketidakpastian itu,” jelas Hasril. Harga CPO tahun ini juga belum terlalu cerah, sepanjang 2019 harga komoditas itu di kisaran US$ 569 per ton, tahun ini bisa saja di atas US$ 600 per ton. Sedangkan untuk menggenjot ekspor, Indonesia perlu melakukan lobi dagang dengan India dan Tiongkok, juga menyadarkan LSM yang selama ini menyerang sawit untuk memberikan kampanye positif.
Ridho Syukra/Tri Listiyarini
Sumber: Investor Daily Indonesia