Mariyanto (60) bersama warga Desa Suka Makmur Kecamatan Giri Mulya, Bengkulu Utara memilih untuk berkebun sawit setelah pekerjaan sebagai penambang batu bara tidak memberikan hasil. Pengetahuan otodidak dalam berkebun sempat membuat dirinya salah memilih benih.
Tanpa bekal ilmu pengetahuan dan keuangan yang terbatas, Mariyanto nekad menanam kelapa sawit secara otodidak. “Pada tahun 1995, kami sudah mulai tanam dan ekspansi besar-besaran, dari situ letak terjebaknya kami menggunakan benih asalan dari pedagang yang nggak jelas dari mana, ada yang mencabuti dari pohon sawit lain yang berserakan di tanah. Kami menganggap bibit itu semua bagus, itu adalah semangat yang didasari tanpa pengetahuan,” cerita Mariyanto dalam perbincangan dengan redaksi Sawit Indonesia pada akhir Juli 2017.
Akibatnya, sejak tahun 1995-2000, perkebunan kalapa sawit milik Desa Suka Makmur sekitar 80% berasal dari benih bermasalah dan tumbuh secara cacat. Diantaranya, batang tumbuh tidak sehat, fisik buah berbentuk runcing yang bagian intinya hanya mengandung sedikit minyak, namun sebaliknya bunga sawit tumbuh lebat.
Ia mengungkapkan bahwa pertumbuhan yang cacat ini mempengaruhi rendahnya produksi Tandan Buah Segar (TBS) yang diperoleh petani. Dalam dua kali masa panen, petani hanya memperoleh sekitar 500 kg – 700 kg TBS per bulan, yang seharusnya bisa mencapai 1-2 ton setiap panen jika menggunakan benih berkualitas. Dengan produksi tersebut, mereka hanya memperoleh pendapatan bersih sekitar Rp 1.400.000/ hektare.
“Pendapatan kita peroleh tidak signifikan, dari hasil produksi 5 hektare misalnya hanya menghasilkan TBS kurang dari 5 ton dalam sekali panen, seharusnya bisa mencapai 9 ton,”keluhnya.
Sejak 2010, pihak Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) masuk ke desa tersebut guna memberikan pembinaan kepada petani tentang bagaimana menerapkan pola perkebunan berkelanjutan. PPKS juga memperkenalkan bibit unggul hasil Program Sawit Rakyat (Prowitra), di mana bibit ini mempunyai sertifikat dan asal-usul yang jelas.
“PPKS sering berkunjung memberikan pembinaan, pelatihan dan pengetahuan kepada petani. Juga menginformasikan mana bibit asli yang mempunyai dokumen dan jelas sumbernya, ada sertifikatnya dan jelas jalur pembeliannya,” tambahnya.
Kelompok tani Desa Suka Makmur kemudian membeli benih Prowitra dengan lebih dahulu menyerahkan surat permohonan pembelian kecambah kelapa sawit, pemberian surat Penyediaan Benih Kelapa Sawit (SP2B-KS) Kelompok Tani dari Dinas Perkebunan Provinsi setempat dan melampirkan daftar nama-nama anggota kelompok tani beserta luas lahan yang telah disahkan oleh Kepala Desa.
Atas hal itu, sejak 2011 terjadi perubahan signifikan pada pola penanam perkebunan di Desa Suka Makmur. Setelah mendapatkan benih Prowitra dan pelatihan dari tim PPKS, para petani berpenghasilan besar menjalankan program peremajaan kelapa sawit (replanting), yang berarti mengurangi tanaman sawit dari benih bermasalah sekitar 80% menjadi 60%.,
Dwi Praptomo Sudjatmiko, Kepala Balai Besar Perbenihan Dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan, menyebutkan secara tidak mudah mengenali mana benih palsu dan benih asli dari produsen benih. Perbedaan baru dapat diketahui setelah tanaman berumur 3-5 tahun. Ciri benih palsu/non sertifikat dapat diketahui dari ukuran buah yang kecil dan rendemen rendah.
Sumber: Sawitindonesia.com