Tiga tahun terakhir pengembangan bahan bakar berbasis minyak sawit terus digeber dengan dukungan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), upaya itu dilakukan sebelumnya untuk mengatasi terus melemahnya permintaan minyak sawit dunia, yang berdampak pada melorotnya harga minyak sawit.

Namun kini faktanya kini tidak hanya untuk meningkatkan serapan minyak sawit domestik guna dijadikan biodiesel (FAME), tetapi juga untuk menutup defisit neraca perdagangan Indonesia yang tercatat terus memerah.

Merujuk laporan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, terjadinya defisit neraca perdagangan didorong oleh defisit migas yang terus melebar dan rendahnya harga komoditas termasuk yang dialami minyak sawit.

Kondisi ini kemudian menutut untuk dilakukannya  perbaikan dengan membuka pilihan penggunaan bahan bakar berbasis minyak nabati, dan melepas ketergatungan dari bahan bakar berbasis fosil yang sebagian besar diperoleh lewat impor.

Terlebih Indonesia sebagai produsen minyak sawit nomor wahid di dunia, tahun 2018 lalu telah mampu memproduksi minyak sawit dan turunannya sebanyak 47,4 juta ton, dimana sekitar 34,7 juta ton di ekspor.

Sementara sampai kuartal I 2019 produksi minyak sawit dan turunan asal Indonesia telah mencapai 12,6 juta ton, dimana sebanyak 9,1 juta ton di ekspor atau meningkat 16% dibanding ekspor pada periode yang sama tahun 2018 lalu. Produksi minyak sawit yang besar tersebut berpotensi untuk dijadikan bahan baku biodiesel yang dicampur ke minyak solar.

Kendati demikian program biodiesel bukannya tanpa kendala, semenjak dikembangkan tahun 2006 lalu perjalanan industri biodiesel nasional sempat mengalami pasang surut, dan produksi biodiesel kerap jauh dari kapasitas terpasang. Bahkan saat ditetapkan mandatori tahu 2010 lalu, antara alokasi target dan realisasi serapan terkadang tidak sesuai.

Untungnya semenjak 2015 lalu saat BPDP-KS berdiri, program Biodiesel pun terus digenjot lewat skim insentif pembiayaan atas selisih harga biodiesel dan minyak solar. Setelah sukses menerapkan mandatori campuran biodiesel (FAME) sebanyak 20% ke minyak solar berbasis fosil atau tren disebut B20 semenjak tahun 2017 lalu.

Program itu pun bakal dilanjutkan menuju B30, sesuai dengan target bauran energi baru terbarukan yang ditetapkan pada 2020. Namun sebagian pihak meminta untuk segera menerapkan kebijakan mandatori B30 di tahun ini.

Menguatnya dorongan percepatan penggunaan biodiesel tersebut di dalam negeri lebih diakibatkan impor minyak fosil yang terus membengkak dan menekan neraca perdagangan Indonesia.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Alam dan Mineral (ESDM), Archandra Tahar mengakui, banyak pihak yang merasa kecewa dengan impor migas yang terus meninggi, padahal ada pilihan sumber energi lain yang dianggap bakal mampu untuk mendongkrak neraca perdagangan nasional.

Archandra pun sepakat, bahwa pengelolaan energi di dalam negeri untuk bisa mencapai ketahanan energi. Dari catatan Kementerian ESDM, kebutuhan crude produk mencapai 1,4 juta barrel per hari untuk bahan bakar cair, sementara bila ditambahkan LPG maka mencapai 1,6 juta barrel/hari.

Sumber: Infosawit.com