Jakarta – Kalangan akademis dan pelaku industri meminta pemerintah supaya nomenklatur (penamaan) dan standar Dahan bakar nabati segera ditetapkan. Karena terdapat perbe-1 daan antara FAME (Oksigenate, kini secara populer disebut Biodiesel dengan inisial Bxx ) dengan Biohidrokarbon (Drop-in) dalam kelompok bahan bakar nabati. Tujuannya, pelaku industri, masyarakat, dan pemerintah punya persepsi sama terhadap program penggunaaan dan pengembangan energi terbarukan yang berasal dari bahan baku nabati secara keseluruhan disebut biofuel
“Saat ini, pelaku industri banyak yang salah persepsi karena para investor berbondong-bondong mau menanamkan investasi di sektor industri FAME (RED-Fatty Acid Methyl Ester atau dikenalbiodiesel). Besarnya minat investor ke arah biodiesel karena adanya rencana peningkatan konsumsi biodiesel di dalam negeri dari B30 menjadi B40, bahkan ditargetkan menjadi B100, “kata Sahat Sinaga, Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia.
Padahal, menurut Sahat, FAME yang dicampurkan ke dalam solar memiliki keterbatasan dari standar volume dimana FAME dengan kualitas yang sekarang ini maksimal pencampurannya sampai 30%.
Artinya pelaku industri berpikir kebijakan B30 dan B50, ini berarti pemakaian FAME sebesar 30% ataupun 50% yang akan dicampurkan ke dalam solar. Padahal, program kandungan FAME di atas B30 mesti melewati tahapan proses pencampuran tepat waktu, homogen dan penyimpanannya tidak boleh terlalu lama. Sehingga orang berpikiran bahwa ke depan jumlah FAME yang dicampurkan semakin besar.
“Disinilah perlunya pemerintah membuat penamaan serta definisi yang dimengerti oleh masyarakat secara luas dan jelas, serta kearah mana pengembangan atau pemakaian biofuel di pasar domestik”, jelas Sahat.
Dr. Tatang Hemas Soerawidjaja, Ketua Dewan Pengawas Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia, dalam kesempatan sama, menjelaskan bahwa pemangku kepentingan sebaiknya dapat memahami perbedaan antara FAME dengan biohidrokarbon. FAME atau yang dikenal sebagai biodiesel termasuk dalam kategori oksigenat yang dicampurkan dengan persentase terbatas mulai dari BIO sampai maksimal B30.
Berbeda dengan biohidrokarbon yang bersifat sebagai jembatan (drop-in) sehingga dapat dicampur dengan jumlah persentase berapa saja. Contoh produk biohidrokarbon antara lain diesel biohidrokarbon yang sama dengan solar selanjutnya gasoline biohidrokarbon yang sama dengan bensin, dan jetfuel biohidrokarbon yang sama dengan bahan bakar sejenis berasal dari minyak bumi (fosil).
“Makanya, saya usulkan pemerintah segeramembu-at nomenklatur dan standar bahan bakar nabati biohidrokarbon. Dengan begitu masyarakat awam dan dunia internasional dapat memahami kebijakan biofuel Indonesia,” usulTatang. Saat ini, Tatang mengakui, teknologi konversi minyak lemak nabati menjadi bahan bakar nabati biohidrokarbon sedang dikembangkan perguruan tinggi seperti ITB. Teknologi produksi diesel BioH melalui proses hidrodeoksigenasi minyak sawit ( CPO 1 ++)/asam lemak jenuh. Pro-\’ duksi Gasoline BioH menggunakan katalitik proses pada minyak sawit (CPO ++ )/asam oleat. Jetfuel BioH melalui proses hidrodeoksigenasi yang dilanjutkan dengan aromatisasi minyak kernel sawit ( CPKO ++ ). Pemanfaatan teknologi hidrodeoksigenasi dan pe-rengkahan katalitik dapat dilakukan secara co-processing
Sumber: Harian Ekonomi Neraca