Isu perkebunan kelapa sawit di wilayah perdesaan biasanya masih seputar masalah legalitas lahan, biaya perawatan mahal, penjualan buah sawit masih ke pengepul/tengkulak, padahal kebun petani bersebelahan persis dengan pabrik kelapa sawit.
Kemudian terkait masih minimnya pendampingan petani dalam praktik budidaya kelapa sawit berkelanjutan, harga buah sawit yang masih turun-naik, dan kebun sawit petani yang berada di dalam kawasan hutan.
Dikatakan Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, masalah legalitas lahan saat ini menjadi sangat krusial, sebab kebanyakan petani kelapa sawit hampir tidak banyak dibekali dengan sertifikat lahan.
Kondisi demikian membuat posisi petani menjadi sangat lemah. Lantaran bila terjadi konflik lahan maka petani sawit tidak memiliki posisi tawar, akibatnya banyak kebun sawit milik petani terkena gusur.
“Kalau mau ngurus sertifikat mahalnya selangit bisa mencapai Rp 4 sampai 6 juta per sertifikat, kalaupun ada program Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PSTL) tidak sampai ke mereka (petani sawit),” kata Darto dalam acara Indonesian Palm Oil Smallholders Conference & Expo (IPOSC) 2019, belum lama ini di Pontianak, Kalimantan Barat yang dihadiri InfoSAWIT.
Lebih lanjut kata Darto, terlebih mengenai masalah tata niaga buah sawit, kebanyakan petani menjual buah ke pengepul atau loading ramp pinggir jalan. Cara demikian mengakibatkan harga buah sawit petani dibanderol murah. “Sementara harga barang pokok terus meningkat,” katanya.
Sejatinya guna menyelesaikan masalah tersebut pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Inpres No 8 Tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit dikenal Inpres Moratorium Sawit.
Bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan penyelesaian masalah kebun sawit berada di dalam kawasan hutan. Regulasi lainnya yakni penerapan praktik kelapa sawit dengan cara terbaik sesuai Good Agricultural Practices (GAP), sembari memagari pengembangan sawit supaya tidak merusak lingkungan, lewat rencana penerbitan Perpres Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Kata Darto regulasi yang dirancang pemerintah dalam ISPO bakal membuka peluang bagi pengembangan petani kelapa sawit lebih baik, utamanya untuk penguatan kelembagaan petani, maupun peningkatan kapasitas petani dalam berbudidaya kelapa sawit yang layak lingkungan dan jauh dari eksploitasi sosial. “Kami mendukung implementasi ISPO untuk perbaikan tata kelola kebun rakyat, selain tentunya ada evaluasi perijinan perkebunan kelapa sawit,” katanya.
Sumber: Infosawit.com