Harga sawit yang tinggi dapat mengoreksi permintaan sawit di tahun depan. Para analis berbeda pendapat berkaitan harga. Kebijakan pungutan ekspor sawit berperan besar.

“Harga sawit jangan tinggi sekali. Tidak bagus juga untuk daya saing sawit terhadap minyak nabati lain. Memang akan dinikmati petani dan industri dalam negeri, tetapi saya pribadi menilai bisa jadi bumerang,” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI.

Untuk itu, Sahat memastikan harga berada pada posisi stabil, dia mengatakan Indonesia sebagai produsen utama harus bisa menjaga pasokan CPO ke pasar global dengan volume yang ideal. Hal ini bisa dicapai dengan mengoptimalisasi konsumsi domestik.

Kalangan analis harga juga bedapendapat. Analis komoditas dari LMC International Ltd Inggris, James Fry, memperkirakan harga CPO (minyak sawit mentah) akan tetap tinggi hingga kuartal kedua tahun 2021.  Dampak La Nina dan pemeliharaan kebun yang tidak optimal sejak pandemik covid-19 akan mempengaruhi produksi tandan buah segar (TBS) di perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia.

“Tahun ini kinerja produksi minyak sawit rendah, bukan karena dampak musim kemarau panjang satu atau dua tahun sebelum may saja.  Tetapi juga karena pemeliharaan kebun yang kurang baik akibat penggunaan pupuk berkualitas rendah beberapa tahun lalu,” kata James Fry saat menjadi pembicara dalam IPOC (Indonesian Palm Oil Conference) 2020 New Normal, Kamis (3/12).

Perkiraan akan dampak Covid-19 di tahun 2020 terhadap industri kelapa sawit tidak sesuai. Padahal, Sepanjang tahun 2020 berbagai industri terkontraksi sebagai dampak pandemi. Hal ini disampaikan Analis LMC Internasional Dr. James Fry pada Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020 yang dilakukan secara virtual pada Rabu, 3 Desember 2020.

Fry mengatakan, secara umum kinerja industri sawit cukup baik sepanjang pandemik covid-19.  Meskipun mengalami penurunan volume ekspor akibat penerapan lock down di beberapa negara tujuan, termasuk dua pasar utama yaitu Tiongkok dan India, memasuki kuartal ketiga tahun 2020, tren permintaan ekspor sawit berangsur pulih.

Pada kesempatan yang sama, Presiden Direktur ISTA Mielke Gmb H Thomas Mielke menjelaskan perubahan pasokan dan permintaan minyak sawit dan minyak kedelai menentukan faktor fundamental yang menentukan harga minyak nabati. Tahun 2020, minyak sawit memegang pangsa 32% dari total produksi minyak nabati dunia, sementara minyak kedelai sebesar 25%.

“Mengejutkan, harga minyak sawit dan sebagian minyak nabati lainnya mencapai harga tertinggi dalam kurun enam tahun terakhir yakni di bulan November,” jelas  Mielke.

Mielke mengatakan, produksi minyak sawit lebih rendah dari ekspektasi, hal ini terjadi terutama dari bulan Juli sampai September 2020. Produksi minyak sawit dunia turun hampir di atas 8 juta ton, terutama di Indonesia.

Sementara itu, analis komoditas dari Godrej International Dorab Mistry mengatakan produksi minyak sawit Indonesia tahun 2020 juga hanya 1 juta ton lebih tinggi dibandingkan 2019. Rendahnya suplai ini menyebabkan tingginya harga minyak sawit di pasar global.

Sumber: Sawitindonesia.com