Kinerja positif emiten kelapa sawit sepanjang tahun lalu berpeluang berlanjut, setelah adanya sentimen positif lewat
perundingan kerja sama dagang antara Indonesia dan Swiss.
Produsen minyak kelapa sawit mentah alias crude palm oil (CPO), nampaknya patut memperpanjang napas lega. Bagaimana tidak, setelah beberapa tahun \’bergulat\’ guna mendapatkan restu mengekspor CPO dengan harga istimewa ke negara di Eropa, akhirnya secercah harapan muncul. Adapun, harapan itu berkembang lantaran kampanye hitam CPO banyak merebak di negara-negara Eropa.
Dalam hal ini, ekspor CPO Indonesia ke Swiss dipastikan bakal aman setelah warga negara tersebut memberi lampu hijau terhadap kesepakatan perdagangan bebas antara kedua negara melalui sebuah referendum pada Minggu (7/3) waktu Swiss.
Mengutip Swissinfo.ch, hasil pemungutan suara menunjukkan 51,6% penduduk Swiss sepakat untuk mendukung kelanjutan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) antara Indonesia-The European Free Trade Area (EFTA). Seperti diketahui EFTA adalah sebuah blok dagang beranggotakan Islandia, Iiechtenstein, Norwegia, dan Swiss.
Kemenangan tipis didukung oleh suara dari daerah yang menjadi basis perusahaan-perusahaan komoditas pertanian seperti Jenewa dan Vaud yang merupakan rumah dari perusahaan multinasional Nestle.
Lewat kemitraan ini, ekspor Swiss seperti keju, produk farmasi, dan jam bakal dibebaskan dari bea masuk ke Indonesia. Begitu pula ekspor produk pertanian RI seperti minyak sawit yang akan menikmati pemangkasan tarif masuk.
Lolosnya perjanjian dagang ini di parlemen Swiss menjadi angin segar karena Indonesia-EFTA CEPA sempat tersandung penolakan dari berbagai kelompok. Sejumlah lembaga masyarakat dan kelompok sayap kiri menyatakan penolakan atas perjanjian ini karena mengakomodasi perdagangan CPO yang dinilai menjadi penyebab deforetasi di Indonesia.
Di sisi lain, pendukung perjanjian dagang ini menyatakan bahwa Indonesia-EFTA CEPA justru akan mengakomodasi masuknya CPO dengan standar keberlanjutan. Sebab, hanya produk bersertifikasi yang akan menikmati penurunan tarif.
Sentimen itu, membuat harga minyakkelapa sawitmentah di Bursa Malaysia Derivatif Exchange untuk pengiriman Maret 2021 meroket ke level 4.070 ringgit Malaysia per ton pada penutupan Senin (8/3). Harga ini menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Kabar baik ini setidaknya menjadi angin segar tambahan bagi para produsen CPO nasional, terutama yang melantai
di Bursa Efek Indonesia (BEI). Terlebih sepanjang tahun lalu sejumlah emiten perkebunan berhasil memanen laba cukup tebal, yang didukung tren kenaikan harga minyak sawit.
KINERJA EMITEN
Berdasarkan catatan Bisnis, sebanyak 5 emiten perkebunan yang telah melaporkan kinerja keuangan 2020 kompak mencetak pertumbuhan laba bersih.
Pertumbuhan laba bersih paling agresif dipimpin oleh emiten perkebunan milik grup Astra, PT Astra Agro LestariTbk. (AALI), yaitu mencetak pertumbuhan hingga 294,62% secara year on year (yoy) menjadi Rp833,09 miliar.
Sementara itu, emiten grup Salim, PT Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP), berhasil mencetak laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp234,28 miliar, berbanding terbalik dengan posisi 2019 yang merugi Rp546,14 miliar.
Direktur Utama Salim Ivomas Pratama Mark Wakeford mengatakan bahwa peningkatan profitabilitas perseroan pada 2020 terutama karena kenaikan harga jual rata-rata (ASP) produk sawit diikuti upaya dalam melakukan pengendalian biaya dan efisiensi.
SIMP mencatat ASP CPO dan palm kernel (PK) masing-masing naik 24% yoy dan 21% yoy.
Wakeford menjelaskan, ketidakpastian perekonomian akibat berlanjutnya tensi perdagangan AS-China, dampak pandemi Covid-19, dan pola cuaca yang tidak menentu akan mempengaruhi produksi dan harga komoditas pada tahun ini.
“Di tengah volatilitas harga komoditas, fokus kami pada 2021 adalah memprioritaskan belanja modal pada aspek-aspek yang memiliki potensi pertumbuhan, meningkatkan pengendalian biaya serta inovasi untuk peningkatan produktivitas,” ujar Wakeford.
Secara terpisah, Direktur Utama PT Dharma Satya Nusantara Tbk. Andrianto Oetomo mengatakan bahwa pertumbuhan kinerja perseroan juga didukung kenaikan ASP CPO 2020 perseroan yang mencapai Rp 8,l juta per ton, naik 26% dibandingkan dengan ASP CPO 2019 sebesar Rp6,5 juta per ton.
Selain itu, kenaikan laba yang signifikan oleh emiten berkode saham DSNG itu juga merupakan kontribusi dari turunnya biaya keuangan perseroan, dampak dari konversi sebagian utang perseroan ke mata uang dolar AS pada April dan Mei 2020.
“Kenaikan harga CPO telah mendorong peningkatan marjin operasional,” ujar Andrianto.
Direktur Dharma Satya Nusantara Jenti Widjaja mengatakan bahwa pihaknya akan terus mengupayakan efisiensi biaya sehingga marjin yang diperoleh akan tetap optimal pada tahun ini, melanjutkan kinerja baik daripada tahun lalu.
“Selain itu, perseroan pun berharap pertumbuhan produksi CPO naik 10% karena datangnya La Nina yang membawa hujan akan mendorong peningkatan produksi TBS yang sempat terhambat karena dampak El Nino yang terjadi pada 2019,” ujar Jenti kepada Bisnis, Senin (8/3).
Hal itu pun seiring dengan tren kenaikan harga CPO yang masih berlanjut hingga saat ini.
Di sisi lain, Direktur UtamaAstra Agro LestariSantosa mengatakan bahwa kenaikan harga CPO yang terjadi sejak akhir 2020 dan berlanjut hingga saat ini tidak sepenuhnya dapat dinikmati pelaku usaha.
Oleh karena itu, perseroan juga akan tetap wait and see dan cenderung hati-hati pada tahun ini mengingat kondisi pasar masih dibayangi banyak ketidakpastian akibat pandemi Covid-19.
Sebab, papar Santoso, kinerja perseroan sangat bergantung terhadap cuaca dan dinamika pasar sesuai dengan pasokan dan permintaan.
Sumber: Bisnis Indonesia