Bulan April 2017 lalu, Uni Eropa (EU) mengeluarkan resolusi sawit yang mengancam boikot sawit masuk ke EU. Salah satu alasanya karena sebagian kebun sawit dikembangkan di lahan gambut. Tentu saja rencana boikot sawit tersebut mendapat kritikan tajam dari negara produsen minyak sawit khususnya Indonesia dan Malaysia.

Perhatian EU terhadap kelestarian gambut tersebut terkesan mulia, seakan akan Eropa sangat melindungi dan melestarikan gambutnya. Terlihat mulia lagi dengan rencana beberapa negara Eropa menawarkan dana restorasi gambut ke Indonesia. Hal-hal tersebut  menunjukkan  seakan-akan pengelolaan gambut di Indonesia lebih jelek dari Eropa. Apakah benar demikian?

Data-data ternyata berkata lain. Berdasarkan laporan Fuel Peat Industry in EU (VTT, 2005)  Eropa bukan melestarikan gambut melainkan sudah lama merusak gambut yang ada di Eropa antara lain dengan menambang gambut (seperti batu bara) dan dibakar sebagai bahan bakar/energi. Saat ini setidaknya ada 117 pembangkit listrik yang menggunakan gambut sebagai bahan bakar dan 651 perusahaan produsen gambut yang tersebar di Finlandia, Irlandia, Swedia, Estonia, Latvia, Lithunia dan lainnya.

Penambangan gambut untuk bahan bakar tersebut sudah sejak dahulu dilakukan Eropa. Karena itu, tidak mengherankan jika lahan gambut Eropa tiap tahun berkurang atau hilang. Sampai saat ini lahan gambut Eropa telah hilang sekitar 13.34 juta hektar (Wet International, 2010, International Peat Society, 2002). Dalam periode 1990-2008 saja, lahan gambut Eropa telah hilang sekitar 2.6 juta hektar, sementara di Asia hanya 1.1 juta hektar.

Berbeda dengan di Eropa, di Indonesia lahan gambut sebagian dimanfaatkan untuk pertanian dan sebagian lagi merupakan gambut lindung. Dari sekitar 18 juta hektar gambut Indonesia, diperkirakan hanya 6 juta hektar yang dimanfaatkan untuk pertanian/perkebunan.

Apakah salah memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian? Ini memang masih pro-kontra. Namun dapat dipastikan bahwa memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian jauh lebih baik dari pada ditambang dan dibakar sebagai energi.

Lahan gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik dari tanaman. Karena itu logikanya menanam tanaman di lahan gambut berarti juga menambah bahan organik (biomas) sehingga  bagian dari cara melestarikan lahan gambut. Benar bahwa dalam praktik pertanian gambut banyak keliru dalam pengelolaan lahan gambut seperti land clearing, tata air, dll. Namun itu adalah masalah teknologi dan manajemen yang selalu bisa diperbaiki.

Ini analog dengan banyaknya kasus praktik money politics dalam Pilkada. Apakah Pilkada harus dihapus karena banyak kasus praktik money politics? Tentu tidak bukan. Pilkada tetap dijalankan tetapi diperbaiki sistem dan pengawasan agar praktek money politic makin minim bahkan hilang.

Demikian juga soal pertanian/perkebunan gambut. Kehadiran tanaman di lahan gambut merupakan alamiahnya lahan gambut dan bahkan bagian dari melestarikan gambut itu sendiri. Tentu teknologi dan manajemenya perlu perbaikan terus agar memenuhi asas ecofarming.

Yang jelas, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian/perkebunan jauh lebih sustainable daripada lahan gambut ditambang dan dibakar untuk bahan energi yang meningkatkan emisi karbon seperti di Eropa.

 

Sumber: Indonesiakita.or.id