JAKARTA-Ekspor minyak sawit nasional bisa mencapai US$ 25 miliar tahun ini, atau naik sekitar US$ 2 miliar dari realisasi tahun sebelumnya yang sebesar US$ 22,97 miliar. Kenaikan permintaan dibarengi melonjaknya harga menjadi penyebab utama membaiknya kinerja ekspor sawit Indonesia. Rata-rata harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional sepanjang tahun ini bisa di kisaran US$ 700-800 per ton, sedangkan volume ekspor bisa berada di level 35 juta ton.
Direktur Eksekutif palm oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung mengatakan, tahun ini, produksi CPO dan minyak kernel (palm kernel oil/VYSS) nasional diyakini mencapai 56 juta ton, sedangkan pada 2020 hanya 52 juta ton atau terjadi penambahan produksi sebesar 4 juta ton. Dengan adanya program biodiesel 30% (B30) maka akan menyerap produksi sawit 9,60 juta ton, sementara industri oleofood dan oleokimia akan menyerap 10 juta ton, artinya pasar domestik menyerap 20 juta ton, sehingga ekspor sawit nasional tahun ini akan berada di kisaran 35-36 juta ton.
Rata-rata harga CPO sepanjang 2020 mencapai US$ 675 per ton, kenaikan harga CPO di pasar global mulai terjadi pada Maret 2020. Untuk 2021, jelas Tungkot Sipayung, rata-rata harga CPO diperkirakan berada di kisaran US$ 700-800 per ton. “Harga sawit itu sudah mulai rebound pada 2020. Kalau saya bilang, 2021 ini akan menjadi tahunnya sawit, iklim bagus, produksi bagus, dan harga juga bagus. Jangan lupa, harga bisa baik seperti ini karena program B30 Indonesia, saat ini Indonesialah yang memainkan irama harga sawit, itu kenapa banyak negara tidak suka dan kemudian menggaungkan kampanye antisawit. Apalagi kalau nanti Indonesia sukses memproduksi bensin sawit,” kata Tungkot.
Menurut Tungkot, dengan rata-rata harga US$ 700 per ton dan volume ekspor 35 juta ton saja berarti nilai ekspor sawit sepanjang tahun ini sudah US$ 25 miliar atau mengalami kenaikan US$ 2 miliar dari tahun sebelumnya. Apabila ditambah dengan program B30 maka devisa sawit tahun ini total menjadi US$ 29 miliar. Asumsinya, tahun lalu serapan CPO untuk B30 hanya 8,60 juta ton dan tahun ini diharapkan penyerapan penuh menjadi 9,60 juta ton. “Harga bahan bakar minyak (BBM) naik seiring kenaikan harga minyak mentah sehingga devisa ekspor dari penghematan subsidi impor BBM yang tahun lalu hanya US$ 2,60 miliar maka tahun ini bisa US$ 4 miliar sehingga total devisa sawit tahun ini menjadi US$ 29 miliar, dari devisa nilai ekspor dan devisa penghematan devisa karena B30, ini luar biasa sekali,” jelas Tungkot.
Kepada Investor Daily, Tungkot mengatakan, permintaan sawit global tahun ini diprediksi tinggi, hal ini juga yang memicu kenaikan harga. Alasannya Eropa, Jerman, Inggris, Prancis, masih melakukan lockdown sehingga pemulihan ekonominya berjalan lambat sementara mereka kemungkinan besar menambah impor. Pabrik-pabrik minyak nabati di negara tersebut memang masih jalan tapi suplai dari petani terkendala pandemi, khususnya di Eropa, kemudian produksi kedelai di AS juga terpengaruh iklim. “Jadi produksi minyak nabati selain sawit tidak terlalu bagus, lambat merespons pasar pada tahun ini, di Eropa saja lahan rapeseed berkurang 1 juta hektare, tentu ini membuat suplai minyak nabati mereka tidak segera langsung pulih,” jelas dia. Sementara sawit khususnya di perkebunan sawit Indonesia adalah tanaman yang tahan banting, supply chain atau logistik ke negara tujuan ekspor juga sama sekali tidak terganggu karena memang pabrik-pabrik hilir di Eropa, Tiongkok, dan India, mengandalkan suplai bahan baku dari Indonesia.
Tungkot menuturkan, pasar ekspor yang patut digenjot adalah Tiongkok yang sudah mengalami pertumbuhan ekonomi positif dan pandemi Covid-19 di negara itu sudah terkendali. “Masih ada pandemi, tapi secara umum sudah mulai recovery. Vaksinasi menjadi trigger pemulihan ekonomi global dan juga Tiongkok sehingga mereka pasti akan menambah konsumsi. Pada 2019 ekspor sawit Indonesia itu ke Tiongkok sempat 8,80 juta ton tapi pada 2020 hanya 6,10 juta ton atau berkurang 2 juta ton, tahun ini balik lagi ke 8 juta ton,” papar Tungkot. Dengan kondisi tersebut, kata Tungkot. industri sawit nasional diprediksi secara konsisten akan terus memberikan sumbangsihnya pada penyehatan neraca perdagangan Indonesia dan tidak banyak sektor ekonomi nasional yang mampu berperan seperti industri sawit. “Karena itu, menurut saya, menggenjot ekspor sawit untuk tahun ini masih sangat bisa dilakukan dan peluang menggenjot ekspor sawit demi membantu pemulihan ekonomi nasional masih sangat besar,” kata dia.
Tahun Harapan
Sementara itu, Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) sebelumnya memperkirakan, ekspor minyak sawit nasional tahun ini bisa mencapai 37,50 juta ton atau naik sekitar 10% dari 2020 yang hanya 34,01 juta ton. “Jika vaksinasi cepat dilakukan maka pasar akan recovery, meskipun belum tinggi seperti dua tahun sebelumnya namun pada tahun ini pasar ekspor sudah ada titik cerah. Banyak negara yang karena alasan ekonomi kembali membuka wilayahnya sehingga ekspor bisa sampai 37,50 juta ton,” jelas Ketua UmumGapkiJoko Supriyono. Produksi minyak sawit Indonesia tahun ini akan naik signifikan karena pemeliharaan kebun yan lebih baik, cuaca yang mendukung, dan harga yang semakin menarik, produksi CPO diproyeksikan 49 juta ton dan PKO mencapai 4,93 juta ton.
Dengan komitmen pemerintah untuk melanjutkan program B30 maka konsumsi biodiesel domestik diperkirakan 9,20 juta kiloliter (kl) yang setara 8 juta ton CPO. Penggunaan sawit untuk oleokimia pada 2021 diproyeksikan sekitar 2 juta ton untuk domestik dan sekitar 4,50 juta ton untuk ekspor. “Untuk ekspor sawit sangat tergantung pada vaksin apakah bisa menyebar di sebagian besar wilayah tujuan ekspor atau tidak dan permintaan ekspor sawit pada tahun 2021 sangat tergantung pada keberhasilan program vaksinasi. Namun kami meyakini 2021 merupakan tahun harapan, awal kebangkitan dan pemulihan ekonomi, dan itu terjadi juga terhadap industri sawit dan berharap semua sektor akan kembali tumbuh positif,” ujar dia.
Pada 2020, harga sawit membaik yang memungkinkan pekebun memupuk dan memulihkan kebunnya, sehingga terjadi kenaikan produksi CPO dan PKO rata rata Januari-Juni 2020 sebesar 3,92 juta ton kemudian meningkat menjadi 4,68 juta ton pada Juli-Desember 2020 sehingga total produksi CPO pada 2020 mencapai 47 juta ton. Pada semester 1-2020, rata rata harga CPO mencapai US$ 646 per ton dan pada semester 11-2020 sebesar US$ 775 per ton. Untuk tahun ini, harga CPO diproyeksikan tetap bertahan tinggi karena perekonomian Tiongkok sudah pulih dan vaksinasi berjalan ditambah terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden baru Amerika Serikat. Gapki memproyeksikan harga CPO tahun ini bisa di level US$ 775-845 per ton ton.
Merujuk data Gapki, komoditas sawit selalu menjadi penyelamat neraca perdagangan atau paling tidak meminimalkan defisit neraca perdagangan nasional. Pada 2015, neraca dagang RI surplus US$ 7,67 miliar, saat itu ekspor sawit berkontribusi US$ 19,75 miliar. Lalu pada 2016, neraca dagang RI surplus US$ 9,53 miliar dan ekspor sawit menyumbang US$ 19,85 miliar. Pada 2017, neraca dagang RI surplus US$ 11,84 miliar dengan kontribusi ekspor sawit US$ 24,94 miliar. Kemudian pada 2018, kontribusi ekspor sawit US$ 23,34 miliar sehingga defisit neraca dagang RI hanya US$ 8,69 miliar. Pun dengan 2019, sawit menyumbang US$ 20,22 milliar sehingga defisit neraca daganga hanya US$ 3,23 miliar. Pada 2020, surplus neraca dagang RI mencapai US$ 21,72 miliar berkat ekspor sawit yang mencapai US$ 22,97 miliar,
Sumber: Investor Daily Indonesia