Jakarta, Gatra.com – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 191 tahun 2020 Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan itu, kalau ditengok sekilas, sama saja dengan aturan sebelumnya; masih seputar tarif pungutan.
Bedanya, di aturan yang sekarang, semakin tinggi harga komoditi tertentu, katakanlah Crude Palm Oil (CPO), semakin besar tarif layanannya. Beda dengan dulu, berapa pun harga CPO dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO), tarif pungutan segitu-segitu saja.
Lagi-lagi, sebahagian orang beranggapan kalau tarif layanan semacam ini hanya cara pemerintah untuk mendapatkan duit dengan mudah. Tudingan ini dibumbui pula dengan bahasa; tarif progresif itu telah membikin petani kelapa sawit swadaya rugi banyak.
Asumsi mereka adalah bahwa mestinya, kalau semakin tinggi harga jual CPO di dunia, semakin tinggi pula harga Tandan Buah Segar (TBS) petani swadaya. Sebab, harga CPO itu menjadi kata kunci menghitung harga beli TBS di hulu.
Tapi siapa sangka, kalau aturan yang jamak disebut PMK 191 itu ternyata justru menjadi ‘kilometer nol’ penerapan besar-besaran omongan Presiden Jokowi yang meminta agar Indonesia mengekspor barang yang bernilai lebih tinggi saja. Lho..
Begini, bahwa sesungguhnya, PMK 191 itu dirancang justru untuk membatasi pengiriman CPO dan CPKO. Soalnya pemerintah tahu bahwa semakin hari, negara lain semakin membutuhkan dua bahan mentah ini untuk bahan baku produk makanan dan biodiesel.
Maklum, CPO masih jauh lebih murah sekitar USD380 – USD430 perton ketimbang minyak Rapa, Kedelai maupun bunga matahari. Prediksi itu ternyata moncer. Di situ pasokan Soybean, Rapa dan Sunflower tak stabil, permintaan dua komoditi tadi sontak melonjak.
Lonjakan itu sangat terasa bagi Indonesia lantaran Nusantara adalah penghasil CPO dan CPKO terbesar di dunia. Luas kebunnya saja mencapai 16,38 juta hektar.
Hanya saja itu tadi, lonjakan permintaan itu tidak lagi bisa serta merta dipenuhi para pengekspor lantaran mereka dihadapkan pada PE yang tinggi.
Bulan lalu, nominal PE itu sudah berada di angka USD255 per ton CPO maupun PKO. Itu belum termasuk Bea Keluar (BK) yang harus dibayar sebesar USD 116 per ton kalau tetap ngotot mengekspor bahan mentah itu.
Alhasil, dari pada membayar PE tinggi, mau tak mau korporasi banting setir, mengolah CPO dan PKO tadi di dalam negeri menjadi ragam turunan, barulah diekspor.
Sebab besaran PE turunan didesain jauh di bawah PE CPO dan PKO tadi. Lagi-lagi, itu dilakukan agar industri hilir Indonesia segera berkembang.
Ada yang menyebut bahwa perusahaan perkebunan senang-senang saja berinvestasi industri hilir di Indonesia. Tapi perkebunan asing yang ada di Indonesia, justru akan mau berinvestasi industri hilir kalau CPO dan CPKO dikenai pajak ekspor yang tinggi .
Yang pasti, tak semua korporasi serta merta banting setir ke industri hilir, di antaranya masih ada yang coba-coba memprotes PE itu. Hanya saja, meski ragam cara dilakukan memprotes, pemerintah tetap bergeming, tak mau merubah PMK 191 itu.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) juga keukeuh meminta supaya PMK 191 itu tidak cepat-cepat dirubah agar aturan main itu bisa konsisten dan punya “marwah”.
Organisasi petani semacam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) juga bersikap sama. Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung menyebut bahwa petani sawit di Indonesia, khususnya anggota Apkasindo di 134 kabupaten kota di 22 provinsi, sangat menikmati tingginya harga TBS.
“Kami jadi leluasa membelanjakan duit kami. Duit belanja ini menggerakkan ekonomi di daerah,” kata kandidat doktor lingkungan Universitas Riau ini.
Gulat sepakat kalau model PE yang sekarang, sebaiknya dipertahankan saja dan pemerintah tak usah terpengaruh dengan omongan-omongan tak jelas.
“PE ini telah membikin pengusaha CPO melek dengan hilirisasi. Ini berarti serapan sawit di dalam negeri menjadi lebih besar setelah Biodiesel dan food. Ini menjadi kunci stabilnya harga TBS,” Gulat merinci.
Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga juga sepakat dengan Apkasindo. Dia menyebut bahwa orang Indonesia paham makna protes terhadap PE progresif itu.
“Ada asing di sana yang enggak mau industri hilirnya tak berjalan di negara nya. Itulah makanya ada yang protes supaya bahan mentah dari Indonesia mengalir terus. Mereka enggak siap berinvestasi di Indonesia. Protes ini hanya akal-hakalan saja, enggak perlu didengarlah,” ujar lelaki 75 tahun ini.
Mestinya kata Sahat, jangan lah kemaruk dulu membikin kontrak jangka panjang (forward selling) produk CPO itu.
Dengan tingginya harga sawit di pasar global — Harga Patokan Ekspor (HPE) mencapai USD 1.223 perton — maka yang mengekspor CPO terpaksa harus membayar Levy (retribusi) sebesar USD 355 perton. Amsyong jadinya,” sindir Sahat.
Kalau dirunut ulang cerita bertahannya PMK 191 tadi, ternyata berbanding lurus dengan upaya yang belakangan sedang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sebab setahun belakangan, Badan Layanan Umum (BLU) ini sudah menggarap konsep kemitraan untuk menjadikan hasil riset yang sudah ada, menjadi komersial.
Misalnya komersialisasi katalis merah-putih yang akan memanfaatkan sawit rakyat menjadi bensin di berbagai kabupaten kota penghasil sawit di 26 Provinsi di Indonesia.
Dengan begitu, nilai tambah produk semakin tinggi. Rentang kendali distribusi akan pendek lantaran setiap produk bisa dijual di daerah itu dan pendapatan petani kian gendut. Di sisi lain, cara ini dipastikan akan meredam volume ekspor bahan mentah.
Dengan berjalannya konsep terapan hasil riset untuk komersial lokal ini, tentu akan menjadikan pemakaian minyak sawit di pasar domestik semakin membesar, bisa pula sebagai substitusi produk impor. Dengan begitu, pengeluaran devisa negara untuk impor semakin mengecil.
“Yang jelas, hasil riset itu enggak cuma disimpan di perpusatakaan untuk memenuhi kredit akademis, tapi benar-benar diterapkan. Ini sangat luar biasa. Tinggal lagi sekarang, gimana kerjasama semua stakeholder untuk mewujudkannya,” ujar Sahat.
sumber: https://www.gatra.com/detail/news/513709/info-sawit/umpan-lambung-pmk-191