JAKARTA-Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunankelapa sawit (BPDPKS) siap melibatkan petani atau pekebunkelapa sawitdalam rantai pasok biodiesel. Hal tersebut untuk menjaga keberlanjutan programenergi baru dan terbarukan(EBT) melalui mandatori biodiesel.

Pit Kepala Divisi Lembaga Kemasyarakatan Civil Society BPDPKS Sulthan Muhammad Yu sa menuturkan, untuk menjaga program EBT melalui program mandatori biodiesel maka pemerintah telah menyesuaikan tarif pungutan ekspor (PE) melalui PMK No 191 Tahun 2020, mengingat kebutuhan sawit untuk program tersebut terus meningkat setiap tahun. “Dan hal itu perlu diikuti dengan peningkatan produktivitas kebun sawit agar kebutuhan bahan baku biodiesel dapat terpenuhi di masa mendatang, untuk itu perlu melibatkan para petani atau pekebun sawit di Tanah Air,” kata dia.

BPDPKS memproyeksikan, produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan stok komoditas tersebut pada 2021-2025 mencapai 52,30-57,61 juta ton atau rata-rata naik 4% per tahun, sementara kebutuhan biodiesel untuk program B30 pada 2021-2025 sebesar 8,34-9,66 juta ton atau rata-rata naik 5% per tahun. Dengan konsumsi domestik yang stagnan, Indonesia memerlukan produk hilir yang mampu menyerap stok CPO yang tinggi. Karena itu, ke depan BPDPKS akan mendorong programpalm oilfor Renewable Energy:Next Programme
yang melibatkan petani dalam rantai pasok biodiesel sawit.

Terkait itu, selain dilakukan pengembangan biodiesel dengan teknologi Fatty Acid Methly Ester (FAME), Indonesia juga sedang mengembangkan biodiesel berbasis biohidrokar-bon (hydrogenation) yang bisa menghasilkan green diesel, green gasoline, dan green fuel jet/ avtur. “Pengembangan ini akan melibatkan petani dan menggunakan teknologi yang bisa diimplementasikan dengan skala tertentu atau skala tidak besar tapi menguntungkan petani sawit,” ujar dia dalam diskusi sawit di Jakarta, pekan lalu.

Pengembangan biohidrokar-bon kini sudah masuk dalam program Industrial Vegetable Oil (P/0) dengan pilot project di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, dan merupakan hasil kerja sama dengan Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI), PT Kemurgi Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Semua upaya tersebut sejalan dengan komitmen BP-DKS untuk terus mendorong perkebunankelapa sawityang berkelanjutan demi menjawab isu Sustainable Development Goals (SDGs).

Sementara itu, Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Elis Heviati mengatakan, penerapan program mandatori biodiesel Indonesia dilatarbelakangi karena produksi minyak sawit mentah Indonesia yang cukup besar, pada 2020 saja telah mencapai 52 juta ton. Upaya dalam meningkatkan ketahanan energi nasional tersebut juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengingat dengan tutupan lahan sawit seluas 16,38 juta hektare (ha) sebanyak 40% dimiliki pekebun (petani sawit).

Dalam grand strategy energi nasional, pada 2030 pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan B30 dan memaksimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN) dari biodiesel atau biohidrokarbon. Karena itu, ke depan, pemanfaatan BBN tidak hanya sebatas untuk biodiesel pada pengusahaan skala besar, tapi didorong yang berbasis kerakyatan dan disesuaikan kebutuhan konsumen, termasuk mendorong pemanfaatan by product biodiesel serta pemanfaatan hasil sawit non-CPO.

Model kesertaan petard dalam program mandatori biodiesel bisa berupa pengembangan pabrik minyak nabati industrial (FVO) dan bensin sawit dengan bahan baku dari tandan buah segar (TBS) sawit rakyat yang memiliki biaya produksi lebih murah 15-20% dari pabrikkelapa sawit(PKS) konvensional, harga TBS lebih stabil serta dapat dikelola oleh Koperasi/BUMD dan SNI IVO sudah terbit.

Berantas Kemiskinan

Ricky Amukti dari Traction Energy Asia mengatakan, melibatkan petani atau pekebun sawit terutama yang mandiri (swadaya) dalam rantai pasok biodiesel sangat dimungkinkan, terlebih pekebun sawit mandiri menguasai 40% dari total luas perkebunan sawit Indonesia. Selama ini, mereka diduga tidak pernah mendapatkan manfaat dari program biodiesel secara langsung. Keterlibatan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok produksi biodiesel akan membantu meningkatkan kesejahteraan dan memberantas kemiskinan, termasuk mengurangi risikodeforestasidan menjaga hutan alam yang tersisa. Penggunaaan TBS sawit
dari lahan pekebun mandiri juga dapat mengurangi emisi dari keseluruhan daur produksi biodiesel.

Saat ini, kondisi rantai pasok TBS dari petani atau pekebun ke pabrikkelapa sawit(PKS) bervariasi, panjangnya rantai pasok itu mengurangi keuntungan mereka. “Dengan mandatori biodiesel diharapkan bisa menjadi momentum dalam memperbaiki rantai pasok dari petani,” ujar dia seperti dilansir Antara.

Biasanya, PKS jarang menempatkan petani atau pekebun mandiri sebagai pemasok bahan baku karena terkait karakteristik usahanya, rata-rata skala usaha mereka masih terbatas dengan luas lahan di bawah 3 ha, modal kerja minim, pengelolaan manajemen usaha masih tradisional, dan tingkat produktivitas rendah.

Hambatan eksternal yang dihadapi petani atau pekebun sawit mandiri adalah akses
pasar yang terbatas dan harga jual TBS yang tidak sebanding dengan biaya pokok produksi. Salah satu cara untuk menjamin keberlangsungan usaha petani atau pekebun mandiri adalah dengan memberikan jaminan pasar. Karena itu, ke depan pengadaan TBS oleh PKS sebaiknya menempatkan petani atau pekebun mandiri sebaga pelaku rantai pasok CPO melalui kerja sama kemitraan berbasis karakteristik usaha.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia