JAKARTA – Pemerintah belum memastikan nasib kebijakan moratorium pemberian izin baru perkebunan kelapa sawit yang berakhir pada 19 September lalu. Sebelumnya, melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018, Presiden Joko Widodo menunda pemberian izin operasi baru untuk perkebunan sawit dan memerintahkan kementerian/lembaga mengidentifikasi serta mengevaluasi kepatuhan perizinan sawit.
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementerian Pertanian, Heru Tri Widodo, menyatakan belum bisa memberikan kepastian soal keberlanjutan moratorium perkebunan sawit. Dia beralasan bahwa kebijakan tersebut bersifat lintas kementerian dan lembaga, sehingga harus diputuskan dalam rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Perekonomian. “Kementerian Pertanian sedang mengevaluasi perizinan dan produktivitas perkebunan sawit. Banyak yang sudah ditindaklanjuti,” ujar Heru kepada Tempo, kemarin.
Saat ini, Heru mengimbuhkan, Kementerian Pertanian sudah memiliki data tutupan luas perkebunan sawit nasional. Berdasarkan data terbaru, luas tutupan lahan sawit mencapai 16,381 juta hektare yang tersebar di 26 provinsi. Ia mengatakan data tersebut sudah dirinci secara tematik berdasarkan kepemilikan lahan—baik itu milik PT Perkebunan Nusantara, perkebunan besar swasta, maupun perkebunan rakyat. Selain itu, Kementerian Pertanian telah merekam data luas tutupan berdasarkan umur tanaman.
Heru menyebutkan, Kementerian Pertanian masih terus mendata perkebunan sawit rakyat melalui surat tanda daftar budi daya sejak 2019, serta mendata perizinan usaha perkebunan secara daring. Kementerian Pertanian juga menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021 yang menjadi pedoman dalam melakukan fasilitasi pembangunan kebun sawit masyarakat sebesar 20 persen.
Perkebunan kelapa sawit di Siak, Riau. Dok Tempo/Riyan Nofitra
Ia menambahkan, Kementerian Pertanian sudah melaksanakan program peremajaan sawit rakyat untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia petani sawit, serta mempercepat sertifikasi sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO) melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020. Kementerian Pertanian, tutur Heru, kini mengetahui perusahaan-perusahaan sawit yang tidak mematuhi aturan.
“Kami mendapat tembusan dari beberapa provinsi dan kabupaten tentang perusahaan-perusahaan sawit yang dicabut izin usahanya karena tidak mematuhi Permentan Nomor 98 Tahun 2013 tentang Izin Usaha Perkebunan,” tutur Heru.
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Sahat M. Sinaga menilai berakhirnya masa berlaku Inpres Nomor 8/2018 bukan berarti kebijakan moratorium otomatis berakhir. Menurut Sahat, apabila kebijakan tersebut diteruskan, pemerintah memiliki peluang untuk meningkatkan produktivitas petani sawit. Ia mendorong pemerintah tidak lama-lama menggantung nasib kebijakan tersebut. “Moratorium perluasan lahan sawit akan memotivasi petani menaikkan produktivitas dan mengelola kebun secara ramah lingkungan,” ujar Sahat.
Juru kampanye Forest Watch Indonesia, Agung Ady Setiyawan, mempertanyakan sikap pemerintah soal kelanjutan moratorium karena hanya memberikan respons menggantung dalam beberapa kesempatan. Pemerintah, kata dia, selalu memunculkan pernyataan bahwa beberapa poin yang ada dalam Inpres 8/2018 sudah diakomodasi oleh Undang-Undang Cipta Kerja dan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
“Ketidakjelasan ini akan berdampak pada komitmen pemerintah. Berarti tidak ada iktikad baik untuk melindungi hutan,” tutur Agung.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono berujar bahwa industri sawit sudah mengimplementasikan Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan evaluasi perizinan dan penyelesaian tumpang-tindih perizinan dan kawasan hutan. “Ekspansi pengembangan baru sudah tidak ada. Kami berfokus pada peningkatan produktivitas,” tutur Joko.
Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono mengungkapkan, pengusaha menyerahkan keputusan moratorium kepada pemerintah. Dia menyebutkan, pelaku usaha lebih menaruh perhatian pada peningkatan produktivitas lahan. Selain itu, kata Eddy, Gapki membantu pemerintah dalam percepatan peremajaan sawit rakyat yang berujung pada peningkatan produktivitas nasional. “Anggota Gapki sama sekali tidak melakukan ekspansi. Kalaupun ada, tidak signifikan, karena hanya menyelesaikan perizinan yang sudah ada,” ujar Eddy.
Sumber: Koran.tempo.co