Kementerian Perdagangan meminta eksportir memanfaatkan peluang tren kenaikan harga minyak sawit mentah di pasar internasional setelah penerapan domestic market obligation di Indonesia.

Menteri Perda-gangan Mu-hammad Lut-fi mengatakan harga minyak sawit mentah atau crude Palm Oil (CPO) yang tinggi di pasar dunia bisa mendorong eksportir menyediakan harga yang terjangkau bagi pasar domestik.

“Saya mau supaya eksportir-eks-portir itu dapat harga yang bagus di luar negeri untuk membantu harga dalam negeri,” katanya saat meninjau harga kebutuhan pokok di Pasar Kramat Jati, Jakarta, Kamis (3/2).

Dengan harga ekspor yang bagus, Lutfi meminta eksportir bisa memenuhi kewajiban domestic market obligation (DMO) sebesar 20% dari jumlah ekspor untuk dipasok ke dalam negeri.

Tren kenaikan harga ekspor, paparnya, akan menstabilkan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petard dan minyak goreng di pasar.

“Dengan harga semakin naik tidak akan memberatkan lagi untuk pelaku-pelaku, petani-petani Kelapa Sawit karena harga luar negeri tambah tinggi karena kita larang ekspor,” kata Lutfi.

Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, harga CPO dunia sempat menembus level tertinggi pada pekan kedua Januari 2022 di posisi Rpl2.736 per liter. Harga itu lebih tinggi 49,36% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nur-wan menambahkan Kemendag sudah menyiapkan aturan baru untuk menekan gejolak harga serta menjamin pasokan minyak goreng domestik stabil di tengah kenaikan harga CPO yang masih berlanjut di pasar dunia.

Beleid baru itu dirancang untuk melepaskan ketergantungan harga minyak goreng dari fluktuasi harga CPO internasional.

Oke mengatakan kebijakan itu masih dalam tahap peralihan yang bertumpu pada kebijakan terdahulu seperti DMO dan domestic price obligation (DPO) bagi para eksportir.

“Jadi saat ini konsentrasi pemerintah adalah dari temuan kami sementara ini bagaimana melepaskan belenggu ketergantungan dari harga internasional tetapi ini tidak bisa lama, pemikiran kami sudah berjenjang, kami sudah siapkan berbagai kebijakan lainnya,” katanya webinar yang digelar Institute For Development of Economics and Finance (Indef).

Oke menambahkan kepentingan pemerintah berkaitan dengan penerapan Program Mandatori B30 hingga pungutan ekspor turut menggerek naik harga internasional komoditas itu selama pandemi.

“Saya akui kebablasan dari pe- merintah ini membiarkan minyak goreng bergantung kepada harga CPO internasional itu saja temuan kami,” kata dia.

Ihwal implementasi kebijakan DMO dan DPO, dia menambah-kan,alokasi minyak goreng untuk ritel modern sudah terpasang sebanyak 4,6 juta liter hingga awal bulan ini.

Data itu menunjukkan eksportir CPO sudah melaksanakan kewajiban pemenuhan pasokan domestik untuk pasokan bahan baku minyak goreng tersebut.

“Sekarang para eksportir ini sudah memenuhi kewajiban DMO dan DPO-nya karena mereka ekspornya masih dikunci, kalau sampai 20% baru dibuka pintu ekspornya sampai sekarang belum ada,” kata dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GMNI) Sahat Sinaga mengatakan harga khusus bahan baku minyak goreng dalam skema DPO belum berjalan efektif.

Menurutnya, kondisi itu membuat sebagian pabrik yang tidak terintegrasi dengan usaha perkebunan menahan proses produksinya.

“Industri yang tidak ekspor dan tidak punya kebun berarti dia harus beli dengan harga mahal Rpl5.111 sedangkan harga jual dipatok Rpll.500 atau Rpl3.500 berarti dia akan rugi,” kata kata Sahat.

Harga DPO yang dipatok untuk minyak sawit mentah sebesar Rp9.300 per kilogram dan palm olein sebesar RplO.300 belum tersalurkan ke produsen minyak goreng. Konsekuensinya, kata dia, kegiatan industri hilir dari bahan baku itu bakal terhenti.

“Industri tertahan karena kondisi yang tidak menguntungkan, mereka kan mau bisnis. Harga DPO itu yang tidak ada, kalau pabrik mati kan rugi dia” kata dia.

Ihwal harga DPO yang belum tersalurkan, dia mengatakan hal itu karena harga CPO yang dijual kepada produsen masih mengacu pada hasil tender dari Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Inacom sebesar RplS.lll pada pekan pertama Februari.

“Ini sangat serius makanya kami minta ke Kemenperin jangan diam saja, industri bisa macet total karena tidak ada bahan baku yang harganya Rp9.300,” kata dia.

DESAKAN PETANI

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasin-do) Perjuangan Alpian Arahman menyatakan kebijakan DMO dan DPO untuk minyak sawit mentah mulai menggerus harga TBS milik petani.

“Dalam beberapa hari harga TBS petani justru merosot sangat tajam semenjak muncul peraturan menteri perdagangan beberapa hari lalu,” kata Alpian.

Menurutnya, terdapat sejumlah pihak tertentu yang memanfaatkan momentum itu untuk membeli TBS dari petani dengan harga murah. Berdasarkan catatan Bisnis, harga TBS dari petani sempat terkontraksi hingga 27,5% yang terjadi di 16 provinsi secara merata pada pekan lalu.

Saat itu, harga TBS berada di posisi Rp2.550 per kilogram atau terpaut relatif lebar dari harga sebelum kebijakan DMO dan DPO sebesar Rp3.520 per kilogram.

Oleh karena itu, dia meminta pemerintah mengevaluasi kembali penerapan kebijakan DMO dan DPO untuk memastikan harga TBS petani tidak tergerus di tengah upaya stabilisasi harga minyak goreng domestik.

Dalam kesempatan sama, peneliti Indef Rusli Abdullah memproyeksikan kebijakan DMO dan DPO untuk minyak sawit mentah bakal menggerek harga komoditas bahan pokok lainnya. Dia beralasan kebijakan DMO itu bakal mengurangi pasokan CPO Indonesia ke pasar internasional secara signifikan. Konsekuensinya, harga CPO dunia akan terungkit naik akibat terbatasnya pasokan itu.

“Adanya DMO untuk CPO ini akan menahan ekspor otomatis pasokan ke dunia berkurang. Ini berpotensi menaikkan harga CPO dunia,” kata Rusli saat memberi keterangan dalam diskusi Indef, Kamis (3/2).

Di sisi lain, katanya, kenaikan harga CPO dunia itu pada gilirannya akan menaikan harga sejumlah komoditas pangan yang bersinggungan dengan bahan baku minyak goreng tersebut. Dengan kondisi itu, pemerintah bakal membuka kembali impor bahan pangan itu untuk menjaga stabilitas harga komoditas yang terkerek naik menyusul kebijakan DMO tersebut.

“Naiknya harga CPO bisa menimbulkan backfire ke Indonesia, bisa mengerek harga komoditas lain seperti kedelai dan sebagainya. Ketika permintaan naik dan pasokan tidak tersedia otomatis Indonesia butuh impor lagi,” kata dia.

Sebaliknya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencatat perusahaan asal Malaysia mengakuisisi lima perusahaan perkebunan sawit nasional sepanjang 2021. Adapun, secara keseluruhan terdapat 10 akuisisi perusahaan perkebunan sawit yang dilakukan oleh perusahaan besar.

Ketua KPPU Ukay Karyadi mengatakan catatan itu menunjukkan struktur bisnis minyak goreng dalam negeri cenderung dikuasai oleh segelintir korporasi besar yang memiliki kekuatan untuk mengontrol harga. Sementara akuisisi itu juga memperlihatkan luasan perkebunan sawit milik rakyat atau perusahaan skala menengah menciut setiap tahunnya.

“Kedaulatan di perkebunan sawit itu makin berkurang dari sisi kepemilikan rakyat berkurang dari segi kepemilikan nasional juga semakin berkurang,” kata Ukay.

Menurutnya, KPPU mencatat dari 74 pabrik minyak goreng dalam negeri terdapat empat perusahaan yang menguasai pangsa pasar. KPPU mensinyalir sejumlah perusahaan dalam negeri itu melakukan kartel terkait dengan kenaikan harga minyak goreng sejak akhir tahun lalu.

Ukay mengatakan struktur pasar yang cenderung oligopoli pada komoditas minyak goreng itu relatif menyulitkan upaya Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menstabilkan harga yang sudah bergejolak panjang.

Dia meminta Kemendag untuk memperbaiki struktur pasar minyak goreng dalam negeri yang sudah terlanjur oligopoli terlebih dahulu untuk menstabilkan harga komoditas tersebut.

“Kalau struktur pasarnya cenderung oligopoli di mana ada integrasi vertikal tentunya investasi kebijakan di hilir tanpa membenahi struktur industrinya relatif tidak efektif karena posisi tawarnya ada di perusahaan-perusahaan besar tersebut,” kata dia.

 

Sumber: Bisnis Indonesia