Ekspor CPO sumber PAD bagi Kalbar-02
gapki

Sektor kelapa sawit Indonesia kembali menjadi sorotan menyusul penerapan tarif impor baru di Amerika Serikat. Meski tarif tinggi mulai berlaku, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa ekspor sawit ke AS masih normal dan belum menunjukkan penurunan signifikan. Kondisi ini diperkirakan bersifat transisi, seiring eksportir menyelesaikan kontrak lama sebelum menghadapi tantangan kontrak baru dengan tarif meningkat.

Amerika Serikat resmi menerapkan tarif baru untuk berbagai produk kelapa sawit sejak Agustus 2025, sebagai bagian dari upaya proteksionis untuk mendukung industri lokal dan mengurangi ketergantungan impor minyak nabati. Kebijakan ini mencakup kenaikan bea masuk hingga 15–20%, tergantung jenis produk, dan mulai berdampak pada importir AS.

Penetapan tarif baru ini dipicu beberapa faktor:

  • Proteksi industri minyak nabati domestik AS terhadap persaingan impor.

  • Keinginan mendorong diversifikasi sumber minyak nabati lokal.

  • Tuntutan kelompok lingkungan atas isu deforestasi di negara penghasil sawit.

Meskipun demikian, sebagian besar eksportir Indonesia masih memiliki kontrak pengiriman jangka panjang dengan buyer AS yang diajukan sebelum kebijakan diterapkan. Hal ini menjadi kunci mengapa volume ekspor hingga saat ini belum merosot.

Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, mengungkapkan bahwa mayoritas eksportir anggota GAPKI masih menjalankan kontrak lama dengan tarif lama. Dengan demikian, pengiriman berjalan seperti biasa, hanya dipercepat agar selesai sebelum aturan baru efektif sepenuhnya.

“Kalau ekspor ke AS anggota GAPKI hampir semuanya menjalankan kontrak yang sudah ada, artinya masih menggunakan tarif lama. Memang akhirnya pengiriman semuanya diusahakan untuk dipercepat apabila barang sudah siap,” jelas Eddy Martono kepada Kontan, Rabu (3/9).

Beberapa poin penting kondisi saat ini:

  • Kontrak Eksisting: Pengiriman berdasarkan kontrak lama yang terjaga hingga awal September 2025.

  • Percepatan Distribusi: Eksportir mendorong percepatan pengapalan untuk memaksimalkan penggunaan tarif lama.

  • Untuk menghadapi pasar global yang semakin protektif, GAPKI bersama para anggota merumuskan beberapa strategi mitigasi:

    • Perluasan Pasar Non-Tradisional
      Mengincar negara-negara di Afrika, Asia Tengah, dan Amerika Latin untuk mengurangi ketergantungan pasar AS dan Uni Eropa.

    • Penguatan Brand Indonesia
      Meningkatkan promosi sawit Indonesia yang berkelanjutan, bersertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), dan menjaga citra sebagai produsen sawit ramah lingkungan.

    • Inovasi Produk Turunan
      Mengembangkan produk hilir berbasis sawit, seperti oleochemical dan biodiesel generasi kedua, yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.

    • Optimalisasi Rantai Pasok
      Meningkatkan efisiensi logistik dan pengelolaan gudang untuk menekan biaya operasional dan menjaga daya saing harga.

    • Kolaborasi dan Diplomasi Perdagangan
      Mendorong Menteri Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri memperkuat negosiasi tarif di forum WTO dan bilateral, guna memperoleh tarif yang lebih adil.

      Belum Ada Penurunan Volume: Hingga laporan terakhir, GAPKI belum menerima laporan penurunan ekspor ke AS.

Seiring kenaikan proteksionisme, pelaku industri juga turut menekankan pentingnya keberlanjutan. Sertifikasi seperti RSPO dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) menjadi kunci untuk menjaga akses pasar, khususnya di wilayah yang menuntut standar lingkungan tinggi.

  • Peluang: Pasar Eropa dan AS lebih menyukai CPO bersertifikat, membuka ceruk premium dengan harga lebih baik.

  • Tantangan: Biaya sertifikasi dan audit yang tinggi, serta penyesuaian praktik sawit rakyat (smallholders) agar memenuhi standar internasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *