
Amerika Serikat mengalami penurunan impor biodiesel dan solar terbarukan yang signifikan pada paruh pertama 2025 setelah pemerintahan Donald Trump mengubah skema kredit pajak untuk bahan bakar ramah lingkungan. Impor biodiesel AS anjlok hingga 94% dari 35.000 barel per hari menjadi hanya 2.000 barel per hari dalam periode ini, sementara impor solar terbarukan turun dari 33.000 barel menjadi 5.000 barel per hari.
Perubahan Kebijakan Kredit Pajak yang Merugikan Impor
Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan bahwa perubahan fundamental dalam sistem kredit pajak bahan bakar terbarukan telah menciptakan ketidakseimbangan ekonomi yang merugikan produk impor. Sebelumnya, baik produksi domestik maupun impor mendapat kredit yang sama sebesar 1 dolar AS per galon, namun program baru hanya memberikan insentif untuk produksi dalam negeri.
“Perubahan kredit pajak ini menempatkan impor pada posisi yang relatif tidak menguntungkan secara ekonomi,” ujar EIA seperti dilansir Reuters. Kebijakan ini efektif mengakhiri insentif untuk impor biodiesel dan solar terbarukan yang selama ini mendorong perdagangan internasional bahan bakar hijau.
One Big Beautiful Bill Act: Revolusi Kebijakan Energi Trump
Transformasi radikal ini diperkuat dengan pengesahan One Big Beautiful Bill Act pada 4 Juli 2025, yang secara komprehensif mengakhiri seluruh insentif pajak untuk energi terbarukan setelah 2026 bagi proyek yang belum memulai konstruksi. Undang-undang ini memberikan angin segar bagi industri batu bara dengan subsidi langsung sambil menghapus total subsidi untuk energi terbarukan seperti angin dan surya.
Proyek energi angin dan surya yang memulai konstruksi setelah periode transisi wajib beroperasi penuh sebelum akhir 2027, berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang memungkinkan pengembang mengklaim potongan pajak hingga 30% sampai 2032.
Dampak pada Pasar Global dan Indonesia
Penurunan drastis impor AS berdampak pada negara eksportir biodiesel seperti Indonesia. Sebelum kebijakan ini, Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor biodiesel Indonesia dengan pangsa 11%. Ekonom Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios) memprediksi Trump akan memprioritaskan produksi bahan bakar ramah lingkungan domestik, khususnya dari kedelai dan jagung sebagai alternatif CPO.
Kebijakan proteksionis Trump ini sejalan dengan prinsip “America First” yang mengutamakan produksi pertanian domestik. Hal ini berpotensi mengurangi permintaan global terhadap biodiesel berbasis minyak sawit, yang selama ini menjadi komoditas unggulan Indonesia.
Proyeksi Jangka Panjang dan Ketidakpastian Pasar
EIA memperkirakan impor bersih biodiesel AS pada 2025 dan 2026 akan menjadi yang terendah sejak 2012. Meskipun konsumsi biofuel kemungkinan akan meningkat dalam beberapa bulan mendatang untuk memenuhi mandat dalam program Standard Bahan Bakar Terbarukan AS, impor akan tetap rendah karena perubahan struktural dalam sistem kredit pajak.
Penurunan impor juga disebabkan oleh perlambatan konsumsi akibat ketidakpastian seputar persyaratan pencampuran dan margin keuntungan negatif untuk pencampuran biofuel. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan yang memperburuk prospek pemulihan impor biodiesel dalam jangka pendek.
Respons Industri dan Implikasi Ekonomi
Perubahan kebijakan ini menandai pergeseran strategis dari era Biden yang mendorong transisi energi melalui Inflation Reduction Act. Trump menginstruksikan Departemen Keuangan untuk mengimplementasikan penghapusan insentif pajak terhadap proyek energi angin dan surya, serta meminta Departemen Dalam Negeri meninjau kebijakan yang memberi preferensi pada energi terbarukan.
Industri energi fosil merespons positif kebijakan ini. “Ini adalah undang-undang paling transformatif dalam dekade terakhir terkait akses industri ke lahan dan perairan federal,” kata Mike Sommers, Presiden American Petroleum Institute.
Kesimpulan
Kebijakan energi baru Trump telah mengubah lanskap perdagangan biodiesel global secara fundamental. Dengan menghapus insentif untuk impor bahan bakar terbarukan dan memprioritaskan produksi domestik, AS praktis menutup pintu bagi biodiesel asing. Hal ini menciptakan tantangan serius bagi negara eksportir seperti Indonesia yang perlu mencari pasar alternatif atau memperkuat konsumsi domestik untuk mengimbangi penurunan permintaan dari pasar AS yang strategis.